Syaefudin Simon: Bilakah Umat Islam Mengubah Buih Menjadi Permadani?
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 31 Desember 2022 13:23 WIB
Oleh: Syaefudin Simon, Kolumnis
ORBITINDONESIA - Merasa Paling Dosa (MPD) adalah salah satu gangguan psikologis yang merusak jiwa seseorang. Dampaknya terhadap kehidupan si MPD luar biasa.
Ia merasa terasing. Takut bertemu manusia. Tuhan seperti mengancamnya. Publik membencinya. Dan paling tragis: lebih baik mati bunuh diri dari pada hidup dalam kegelapan dan perundungan.
Kondisi ekstrim lain, terjadi pada sikap orang yang Merasa Paling Benar (MPB). Si MPB, juga mengalami gangguan jiwa. Ia merasa paling benar atas semua tindakannya.
Tuhan merasa selalu berada di pihaknya. Ia merasa kunci surga ada di tangannya. Si MPB tak peduli kepada reaksi publik yang menolak pikirannya. Baginya, kebenaran mutlak ada padanya.
Celaka 12. MPD dan MPB ini banyak muncul akibat aturan-aturan agama dan moralitas manusia yang salah tafsir terhadap teks-teks kitab suci Al-Quran.
Mirisnya, tafsir-tafsir atas kitab suci yang salah kaprah dan menyimpang ini -- pinjam “Lora” Gus Islah Bahrawi -- kini menjadi pedoman sebagian umat beragama. Terutama umat Islam yang mabuk agama.
Agama yang berkembang di Indonesia -- kata Gus Islah -- sebetulnya tak lebih dari "tafsir agama atau tafsir atas ayat-ayat Qur'an". Bukan agama itu sendiri.
Baca Juga: Yang Sedang Butuh Pekerjaan, Ada Lowongan Kerja di PT Astra International Tbk
Tafsir inilah yang kemudian mencuatkan paham macam-macam yang ekstrim, nihilis, termasuk radikalisme dan terorisme.
Di pihak lain, tafsir agama ini pula yang mematikan gairah kehidupan manusia terhadap hal-hal yang bersifat kultural dan natural.
Gegara nikah beda agama, misalnya, wanita diusir orang tuanya. Gegara hidup bersama antara pria dan wanita lajang, keduanya dikucilkan dan dianggap telah melakukan dosa besar yang tak termaafkan. Hukumannya dirajam.
Salah satu tindakan syar’i yang menggemparkan dunia adalah eksekusi mati terhadap Misha’al binti Fahd Al-Saud, putri keluarga Kerajaan Saudi Arabia dan kekasihnya Khaled al-Shaer Mulhallal, di tahun 1977.
Baca Juga: Meskipun PPKM Dihentikan, Inmendagri Mengatur Tetap Bermasker
Misha’al sudah dijodohkan oleh ayahnya, tapi si putri lebih memilih Khaled. Demi pilihannya, sang putri kabur dari istana.
Ketika kedua merpati ini tertangkap askar Kerajaan, Misha’al mengakui telah berzinah dengan Khalid. Padahal Kerajaan minta putri tidak mengakuinya agar terhindar dari hukuman mati.
Tapi Misha’al jujur -- tetap mengakui telah “make love” dengan Khaled. Eksekusi mati pun tak terhindarkan. Itulah hukum Islam. Merampas nyawa dan cinta demi hukum agama yang diyakininya.
Pihak Kerajaan tampaknya lupa, hingga hari ini konsep milkul yamin – budak pemuas nafsu seks bagi pemiliknya – masih berlaku di Saudi. Karena kitab suci Al-Quran tidak pernah melarangnya.
Hubungan seks yang “dipaksakan” majikan terhadap budaknya tanpa menikah (sex non marital) tersebut sesungguhnya lebih buruk dari apa yang dilakukan Misha’al dan Khaled.
Kisah ini sekadar menunjukkan betapa problematisnya hukum syar’i bila bertautan dengan kehidupan ril di masyarakat.
Dr. Abdul Aziz dalam disertasinya yang berjudul “Konsep Milkul Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” mengungkapkan panjang lebar – bagaimana absurd dan dzalimnya hukum-hukum syari yang merujuk tafsir-tafsir tertentu – khususnya yang terkait dengan perbudakan dan hubungan seksual non-marital – di dunia Islam.
Bayangkan! Sheikh Saleh al- Fauzan , ulama senior Arab Saudi – seperti ditulis Abdul Aziz dalam disertasinya -- menyatakan: perbudakan merupakan bagian dari ajaan Islam.
Perbudakan adalah bagian dari jihad. Maka sepanjang ada Islam selalu ada jihad. Seorang muslim yang berpendapat bahwa Islam melawan perbudakan adalah bodoh, bukan terpelajar.
Siapa yang mengatakan hal seperti itu adalah kafir. Muslim kebanyakan adalah musyrik. Karena itu, harta dan darah mereka halal diambil oleh “muslim sejati” (Konsep Milkul Yamin, Abdul Aziz, hal. 8)
Lanjut! Timbulnya sikap anarkisme, radikalisme, dan terorisme, tegas Lora Islah Bahrawi, adalah buah dari tafsir kaum atau mazhab tertentu atas teks-teks kitab suci.
Tafsir kalangan tertentu atas teks-teks tersebut kemudian, menjadi pedoman hidup yang destruktif terhadap kemanusiaan. Padahal – kata Buya Syakur – hukum apa pun yang anti-kemanusiaan adalah palsu. Bukan dari agama!
Baca Juga: Eksotisme Alas Purwo Semakin Memikat, Jumlah Wisatawan Selama 2022 Naik Drastis Capai 166.141
Di pihak lain, tafsir atas teks-teks kitab suci yang sejalan (in line) dengan kehidupan natural dan kultural justru dipasung oleh para "mufassirin" yang mengatas-namakan agama. Akibatnya, agama memasung kebebasan dan kreativitas manusia.
Kondisi ini menjadikan manusia sebagai "korban" agama. Dengan kata lain, manusia adalah untuk agama. Bukan agama untuk manusia.
Padahal kita tahu, Nabi Muhammad diutus Allah untuk merahmati alam semesta (rahmatan lil’alamin).
Menurut Prof. Komarudin Hidayat, rahmat maknanya adalah cinta sejati. Seperti cintanya ibu kepada bayi yang bau dilahirkannya.
Baca Juga: Duh, Selama 2022 Polres Jember Catat Korban Meninggal Akibat Kecelakaan Sebanyak 309 Jiwa
Rahmat bermakna cinta yang tulus. Cinta tanpa reserve. Jadi hakikatnya Islam datang untuk menyintai kehidupan seluruh alam semesta. Tanpa reserve.
Lalu bagaimana faktanya dalam kehidupan umat Islam saat ini? Orang bernasib seperti Misha’al dan Khaled banyak sekali. Dan hukuman antikemanusiaan tersebut hingga kini tetap berlanjut sesuai tafsir mereka atas teks-teks kitab suci.
Tragisnya, ketidakadilan semacam itu muncul dalam berbagai aspek kehidupan. Dari hukum perkawinan, hukum waris, dan lain-lain.
Gus Dur -- seperti diceritakan Buya Syakur Yasin di channel YouTube dan tivi Wamimma -- menyatakan, beragama saat ini seperti menggenggam bara api.
Baca Juga: Inilah Profil Al Nassr, Klub yang Dibela Ronaldo
Jika bara itu "dilepas" bisa membakar kemarahan umat. Tapi bila bara itu digenggam terus, sakit sekali. Tangan kita yang menggenggamnya terbakar.
Umat Islam, misalnya, mengutip Buya Syakur, telah 1200 tahun lebih dicekoki tafsir ayat-ayat Qur'an yang berbasis hadist-hadist Buchori-Muslim secara serampangan.
Padahal hadist-hadist tersebut (yang dianggap mayoritas umat Islam adalah paling absah dan sahih) banyak sekali yang narasinya atau kontennya tidak rasional, antisains, antikemanusiaan, rasis, dan sangat subyektif.
Kita tahu, Imam Buchori, kolektor hadits terbanyak dalam Islam, yang hidup dua abad setelah Nabi Muhammad wafat, mengklaim telah mengumpulkan 600.000 hadist dari seluruh jazirah Arab.
Baca Juga: Pele Meninggal Dunia, Presiden Brazil Umumkan Berkabung Tiga Hari
Ia kemudian menyeleksinya sedemikian rupa berdasarkan matan (konten) dan rawih (kesinambungan riwayat) dari hadits-hadits itu.
Sang Imam akhirnya berhasil membukukan sejumlah hadits selektif tersebut menjadi "kitab sahih Buchari" yang kini jadi pedoman mayoritas umat Islam di seluruh dunia.
Kritik Buya Syakur terhadap kompilasi hadist oleh Imam Buchori itu, seperti ditampilkan tivi Wamimma, dicatat oleh Prof. Dr. Budi Santoso Purwokartiko, Guru Besar Teknik Industri ITS Surabaya (lihat laman FB Budi Purwokartiko).
"Awalnya Buya Syakur membahas hadits, yang kebanyakan bukan kata nabi secara langsung; tapi, cerita orang lain di sekitar nabi. Lalu ada seleksi hadits yang dilakukan oleh Bukhori yang hidup 200 tahun sesudah nabi.
Baca Juga: Mengenal Wisata Gunung Mamake, Pemandangan Saat Malam Hari Luar Biasa Indah
Dari 600 ribu hadits diseleksi berdasarkan karakter penyampainya, periwayatnya, hingga terpilih 14 ribu hadits. Seleksi dilakukan dalam 16 tahun.
Atau kalau dihitung rata2 Bukhori menyeleksi 1 hadist tiap 15 menit dengan metoda yang sangat subyektif (diasumsikan Bukhori bekerja full 24 jam per hari, 30 hari per bulan). Kalau hanya bekerja 14 jam per hari, ada 1 hadits diperiksa dan diseleksi dalam 8 menit.
Abad 9 informasi tentang nabi dan para sahabatnya yang meriwayatkan hadits dari Uzbekistan tempat Bukhari hidup, yang berjarak 4.134 km dari Mekkah, sangatlah sulit dicari.
Bagaimana Bukhori menentukan seorang perawi (periwayat) hadits itu jujur, tidak punya kepentingan politik atau kepentingan pribadi, dan tidak terjadi distorsi antar orang dalam periwayatan tentu sangat subyektif dan rentan salah.
Baca Juga: Inilah Asal Usul Lengkap Adanya Transformers, Tahun Diciptakannya Sejak Generasi 1
Apakah ada peer review dari ulama yang lain soal metoda dan hasil analisa Bukhori? Maka Buya Syakur mengajak beragama dengan rasional dan dibarengi dengan critical thinking.” Tulis Budi.
Prof. Budi – seperti halnya Buya Syakur – tampaknya ingin mengajak umat untuk berpikir logis, kritis dan rasional dalam membaca kitab suci dan hadits. Tanpa itu, Islam hanya menjadi buih.
Tanpa berpikir logis, kritis, dan rasional – umat Islam memang tidak akan mampu “merubah buih menjadi permadani.” Seperti janji cinta yang Nabi Muhammad ucapkan kepada ummatnya! Tak akan pernah terjadi.***