Indra Iskandar: Mobil Listrik dan Global Warming
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 10 Oktober 2022 18:30 WIB
Oleh: Indra Iskandar, Setjen DPR RI
ORBITINDONESIA - Halaman pertama harian Kompas dua hari berturut-turut, 6-7 Oktober 2022, meng-headline-kan untung rugi menggunakan mobil dan sepeda motor listrik. Pada 6 Oktober, Kompas menulis judul “Lebih Boros dengan Mobil Lisrik”.
Sepintas, jika hanya membaca judulnya, Kompas seakan menegaskan bahwa pemakaian mobil listrik lebih boros dan mahal. Tersirat di sana, sepertinya Kompas tidak setuju dengan kehadiran mobil listrik yang nirpolusi dan menyelamatkan bumi dari bahaya global warming.
Padahal, dunia internasional kini tengah risau dengan global warming dan berusaha mengurangi emisi gas rumah kaca – terutama karbon dioksida – hasil pembakaran BBM dari mesin kendaraan bermotor.
Baca Juga: Faktor Industri Media, Iklan dan Rating TV dalam Tragedi di Kanjuruhan
Dalam Sidang parlemen dunia (Inter-Parliamentary Union/ IPU) ke-144 di Nusa Dua, Bali pada 20-24 Maret 2022, diserukan penanganan perubahan iklim menuju target nol emisi karbon (net zero emission) harus terlaksana pada tahun 2050.
Waktu 28 tahun dari sekarang, jelas sangat singkat, mengingat problem global warming ini bersifat menyeluruh di dunia. Yang mayoritas terdiri atas negara miskin dan berkembang.
Bagi negara-negara ini, jelas sangat sulit dan dilematis untuk mengurangi emisi karbon dari industrinya. Karena bagi mereka emisi karbon linier dengan tingkat pembangunan industrinya.
Sekali lagi, judul headline Kompas tersebut di atas, menciutkan niat orang yang hendak mengganti mobil berbahan bakar minyak (BBM) dengan mobil listrik.
Baca Juga: Bima Sakti Minta Maaf Usai Timnas Indonesia U17 Gagal Lolos Kualifikasi Piala Asia U17 2023
Namun, jika orang membaca “batang tubuh” judul tersebut, Kompas – setelah melakukan uji coba -- menyimpulkan pemakaian mobil listrik jauh lebih hemat biaya ketimbang pemakaian mobil BBM.
Biaya operasional mobil listrik yang terdiri dari perawatan, energi, serta pajak rata-rata membutuhkan Rp 23,3 juta selama periode pemakaian 5 tahun, atau 100.000 kilometer (KM).
Angka ini lebih rendah 76 persen ketimbang biaya operasional mobil BBM yang mencapai Rp 97,3 juta untuk hal yang sama.
Dengan demikian, pemakaian mobil lisrik selama 5 tahun atau 100.000 KM bisa menghemat dana energi sebesar Rp 74 juta. Penghematan yang cukup siginifikan.
Baca Juga: Vino G Bastian Akui Pernah Tunda Tawaran Main Film Horor Qodrat dari Tahun 2018
Tapi kemudian Kompas menyatakan bahwa keunggulan mobil listrik tersebut terhapus karena biaya investasi atau harga mobil listrik rerata lebih mahal Rp 198 juta dibandingkan mobil BBM.
Tapi untuk sepeda motor, seperti diulas Kompas, efisiensi harga tersebut sudah memadai. Artinya, harga motor listrik dengan motor BBM tidak terlalu jauh.
Bahkan, saat ini, banyak merk sepeda motor listrik yang harganya lebih murah dari sepeda motor BBM. Gojek dan Grab, misalnya, kini sudah mulai memakai motor listrik untuk para drivernya.
Dan driver senang karena sepeda motor listrik biaya operasionalnya lebih murah. Dan yang lebih penting, ribuan sepeda motor listrik yang dipakai para driver Gojek dan Grab berkontribusi mengurangi emisi karbon di atmosfir.
Baca Juga: Kalah Bersaing, Timnas Indonesia U17 Dipastikan Gagal ke Piala Asia U17 2023 di Bahrain
Dalam tulisan itu, Kompas sayangnya kurang menganilisis perspektif lebih jauh perkembangan teknologi mobil listrik.
Harian ini, panjang lebar hanya mengulas soal kemahalan harga mobil listrik dan sumber energi pengisian batere listrik yang berasal dari PLN -- yang menggunakan batu bara untuk pembangkit listriknya.
Kompas pun menulis: kendaraan listrik yang ramah lingkungan tetap menghadapi emisi karbon setiap mengisi ulang batere.
Kendaraan listrik tidak memiliki gas buang, tapi emisi muncul dari pembangkit listrik. Ini benar-benar sebuah ulasan yang pesimistis terhadap masa depan mobil listrik.
Baca Juga: Peringati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, Berikut Ini Link Twibbon dan Kata Motivasi
Pesimistis? Betul, karena Kompas tidak mempertimbangkan kemajuan teknologi “perlistrikan” yang sangat cepat. Memang PLN adalah “penguasa tunggal” perusahaan setrum di Indonesia yang saat ini bahan bakunya 62 persen dari batu bara.
Tapi, bukankah di masa depan akan berkembang teknologi solar cell yang efektif dan murah sehingga PLN bisa membangun stasiun pengisian batere yang sumbernya dari energi surya?
Saat ini, dengan perkembangan teknologi, sel surya (solar cell), harganya makin murah dan efisien.
Sebagai gambaran, 10 tahun lalu, biaya menggunakan sel surya untuk kebutuhan rumah tangga, mencapai ratusan juta rupiah. Sehingga tak banyak masyarakat yang mampu untuk mengganti sumber listrik rumahnya dari setrum PLN ke setrum energi surya.
Baca Juga: Kucing Anda Mendadak Tidak Mengeong? Simak Alasannya yang Harus Diwaspadai
Tapi sekarang, biaya untuk pemasangan solar cell yang cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga, hanya 30-an juta rupiah.
Biaya tersebut mencapai break even point (BEP) dalam 7 tahun. Artinya setelah 7 tahun, rumah tersebut nyaris tak bayar lisrik. Padahal rata-rata orang menempati rumah sampai 30-an tahun. Bahkan lebih.
Di daerah terpencil, seperti pegunungan, dan pantai -- PLN pun bisa membuat stasiun pengisian batere dengan sumber energi surya dan energi angin yang bersih.
Artinya, batu bara – setelah majunya teknologi sel surya dan kincir angin – sudah bisa ditinggalkan. Dengan demikian, emisi karbon di stasiun-stasiun pengisian batere adalah nol. Yakinlah, kondisi tersebut akan tercapai dalam waktu dekat.
Baca Juga: Sejarah World Federation For Mental Health, Berikut Tema Setiap Memperingati 10 Oktober
Lalu, mobil lisrik mahal? Sekali lagi, lompatan teknologi batere listrik, metalurgi, serat karbon, plastik, dan lain-lain – niscaya akan mengatasi mahalnya harga mobil listrik tersebut.
Mungkin sekarang mobil listrik masih mahal. Tapi sepuluh tahun ke depan, berkat kemajuan teknologi, harganya niscaya makin murah.
Apalagi kebutuhan manusia akan lingkungaan yang bersih dan nonpolusi untuk mencegah peningkatan suhu bumi sangat mendesak.
Itulah tantangan umat manusia untuk menyelamatkan bumi dari “serangan” globalh warming. We are the world – kata ”raja rock” Michael Jackson.***