Karto Bugel: BBM (Bukan) Bancakan Buat Maling
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 10 September 2022 08:10 WIB
ORBITINDONESIA - Maju kena mundur kena. Itu bukan judul film Dono, Kasino dan Indro. Itu ilustrasi yang tiba-tiba saja keluar saat melihat posisi pemerintah terkait isu kenaikan harga BBM bersubsidi.
Bukan pada posisi ekonomi, sepertinya justru lebih pada sisi politik. Sisi ekonomi, jelas banget akibatnya. Paling gampang terlihat, begitu harga BBM dinaikkan, inflasi akan langsung naik.
Sesudah naiknya harga BBM, harga-harga barang akan ikut naik dan kita merasa seperti menjadi lebih miskin. Duit kita tiba-tiba nilainya berkurang.
Baca Juga: Selama Musim 2021/2022 Juventus Rugi 250 Juta Euro
Setelahnya, biasanya, pertumbuhan ekonomi pun akan terancam turun. Apalagi bila Bank Sentral atau BI ikut menaikkan suku bunga demi menekan inflasi.
Sementara, bila BBM oleh pemerintah nggak dinaikkan harganya, APBN akan terkuras habis. Dan itu bukan hal baik. Ruang fiskal langsung menyempit. Minimnya ruang fiskal dalam APBN membuat pemerintah sulit mengalokasikan belanja modal secara ekspansif.
Itu obrolan berat. Biar saja itu jadi wilayah para ekonom. Banyak orang pintar sudah bicara dengan segala dalilnya.
Namun ketika kita bicara dampak politik yang akan muncul, biasanya, itu akan dimulai dengan demo-demo. Itu cerita lain lagi, kisah yang dapat terus digoreng tanpa kenal kata gosong.
Baca Juga: Tidak Cuma Bus, Tarif Angkutan Laut Juga Naik 20 Persen sejak Harga BBM Naik
Dan maka istilah maju kena mundur kena menjadi masuk akal. Tak dinaikkan ada masalah menunggu, namun ketika dinaikkan pun ada masalah siap menghadang.
Tapi, biarkan pemerintah mencari solusi terbaik.
"Terus sikap kita?"
Kalau Anda adalah pengkritik SBY terkait kebijakannya selama 10 tahun yang kita anggap tak bijak pernah bakar duit Rp 1.300 triliun hanya untuk subsidi BBM, tentu Anda seharusnya juga marah bila Jokowi melakukan hal yang sama.
Baca Juga: Kacau, Kasat Narkoba Pasok Narkoba ke Tempat Hiburan Malam, Begini Akibatnya
Bukan 10 tahun, bahkan pada tahun ini saja pemerintah sudah menggelontorkan uang hingga Rp 502 triliun untuk subsidi dan ternyata sudah hampir habis.
Duit itu tak bertahan, bahkan hingga akhir tahun sesuai rencana dan maka opsi menaikkan harga muncul.
Terserah Anda. Marah ketika pemerintah kurangi subsidi berarti anda nggak konsisten, tapi saat setuju pada keputusannya berarti juga harus siap miskin sejenak. Tak ada pilihan yang enak.
Tapi, kalau kita mau melihat ke bawah, bukan melulu ke atas mencari pembanding yang lebih bagus, pada banyak saudara kita di luar, mereka sebagai warga negara dunia, semuanya memang sedang terdampak. Semua sedang sulit.
Baca Juga: Dok! Tidak Dipecat, AKBP Pujiyarto Ditahan 28 Hari dalam Kasus Obstruction of Justice
Bahwa sulit kita bersama sebagai warga negara Indonesia seperti sedikit terlambat dan terpaksa ikut menyusul, harusnya kita lebih bisa memahami. Bukan justru marah. Tapi itu pilihan Anda.
"Tapi bukankah itu tugas negara bikin rakyatnya nggak sengsara?"
Pada 2014, saat beliau baru dilantik jadi Presiden, dia berani langsung naikkan harga BBM subsidi yang masih "ditahan" oleh pak SBY.
Nggak tanggung-tanggung dari harga Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 atau sekitar 31%. Serta merta ruang fiskal negara menjadi longgar dan pembangunan bisa berjalan.
Dan benar, saat harga crude turun pada 2015, harga itu pun dapat diturunkan bahkan 3 kali. Menjadi Rp 7.600 dan turun lagi menjadi Rp 6.900 dan terakhir bahkan sampai Rp 6.700.
Kala itu harga BBM justru dibiarkan berfluktuasi sesuai harga pasar. Nggak ada rakyat yang marah.
Kalau sekarang tiba-tiba negara seolah terjebak pada subsidi yang sudah menjadi terlalu besar, seharusnya pemerintah juga berkaca kenapa tidak dari dulu hal seperti itu terus dijaga.
Ada saat dimana pemerintah juga lupa dan terkesan santai dengan kembali pada kebiasaan subsidi itu.
Baca Juga: Para Pembalap MotoGP Ucapkan Belasungkawa untuk Ratu Elizabeth II yang Meninggal Dunia
Yang jelas, kalau subsidi kali ini tak dikurangi, tak direvisi, kelanjutan dari pagu anggaran Rp 502 triliun subsidi itu akan sudah jebol sebelum akhir tahun anggaran.
Sekedar perhitungan sederhana terkait subsidi itu, menurut catatan, jumlah dari kendaraan yang ada kurang lebih adalah 134 juta.
Di sana ada ditemukan fakta bahwa 60 persen subsidi itu ternyata dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat. Padahal jumlah mereka hanya sekitar 12 persen saja dari seluruh kendaraan yang ada.
Sisanya, 40 persen subsidi itu dinikmati oleh pemilik kendaraan roda dua, yaitu dengan persentase sekitar 88 persen.
Baca Juga: AS, Turki, Jerman, hingga Jepang Kirim Proposal Adaptasi Drama Korea Extraordinary Attorney Woo
Bukankah itu seperti terbalik? Anda tahu apa maknanya?
Bayangkan, pemilik kendaraan roda 4 yang notabene kaum punya duit itu justru adalah penikmat subsidi terbesar.
Konon, setelah dihitung, setiap pemilik kendaraan roda 4 itu menerima bantuan setara dengan 50 ribu rupiah perhari atau sekitar 18 juta rupiah tiap tahun.
Luar biasa bukan? Hanya di negeri kita orang kaya yang justru mendapat bantuan paling besar atas subsidi dari negara.
Baca Juga: Daebak, Lee Jung Jae Bakal Ikut Jadi Pemeran Utama di Serial Film Star Wars
Sialnya, setelah dibuatkan aplikasi My Pertamina pun itu nggak bisa jalan. Pada titik ini, bukan pemakai atau konsumen atau rakyat yang harus dipersalahkan, para pembuat kebijakan justru adalah pihak tak terlihat pandai.
Kini negara memang ketètèran. Duit itu sudah makin tipis dan maka harus segera diambil tindakan.
Bila ternyata pilihannya adalah menaikkan harga BBM, pemerintah harus yakin benar bahwa BLT atau apapun jenis kompensasi bagi rakyat paling terdampak tak boleh salah target.
Bila tak tepat, bila justru jadi mainan para pejabatnya, ini bukan tentang pak Jokowi sudah tidak ada beban. Ini tentang bagaimana negara ini yang harus lolos dari dampak resesi global.
Baca Juga: Penghapusan Tes Mata Pelajaran pada SNMPTN Dapat Dukungan Anggota DPR
Bagus-bagus justru leading dan kelak harga BBM yang sudah naik itu tak lagi sangat berarti dibanding dengan pendapatan rakyat yang juga sudah turut naik.
Apapun keputusan pemerintah, meski tak menyenangkan, butuh kedewasaan rakyat untuk terlibat di dalamnya.
Di sisi lain, rakyat juga butuh aparatur negara yang bersih dan justru tak foya-foya di saat rakyat harus berhemat.
Batasi atau hilangkan rapat-rapat para pejabat dengan biaya mahal.
Baca Juga: Chan TO1 Dikabarkan Bakal Absen dari Tur Wolrd Karena Positif COVID-19
Jangan hanya mau deklarasi capres saja justru memilih Ritz Carlton, misalnya, jadi tempat pilihan. Bohong bila mereka bilang tak ada duit negara di sana.
Ya BBM itu bukan BANCAKAN BUAT MALING. Maka kenaikan harga barang kebutuhan primer itu harus memperhatikan rakyat paling terdampak, rakyat paling miskin dan rentan. BLT tak boleh jadi PROYEK cari selisih.
Rahayu
Karto Bugel ***