Dedolarisasi untuk Keseimbangan Ekonomi dan Politik Global
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 18 April 2023 04:24 WIB
Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI/Ekonom
ORBITINDONESIA.COM - Era dominasi dolar akan berlalu. Sejumlah negara kini mulai berani melakukan transaksi ekspor-impornya dengan yuan, mata uang China. Bahkan Saudi Arabia, yang sekutu dekat AS, sudah berani menggunakan yuan dalam transaksi penjualan minyaknya dengan China.
Tak hanya Saudi Arabia. Lima negara yang tergabung dalam aliansi BRICS -- Brasil, Afrika Selatan, Rusia, India, dan Cina -- mulai melakukan transaksi bisnis di antara mereka dengan mata uang nondolar. Kelima negara ini, tengah berusaha memperkecil ketergantungannya terhadap uang dolar Amerika (USD).
Kita masih ingat, ketika Rusia diembargo ekonominya oleh Barat di awal invasi militernya ke Ukraina, 24 Februari 2022, AS dan sekutunya menggunakan instrumen USD untuk menekan si Beruang Merah.
Baca Juga: Prediksi Pertandingan Chelsea vs Real Madrid di Perempat Final Liga Champions: Mission Imposible
Hasilnya, untuk sementara nilai rubel jatuh. Tapi Rusia segera membalasnya. Negara-negara pengimpor minyak dan gas dari Rusia, terutama Eropa Barat, harus membayar dengan rubel.
Hasilnya luar biasa. Nilai rubel kembali terangkat. Bahkan mata uang sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Belanda terpuruk karena mereka harus bayar impor gasnya dengan rubel.
Akibatnya, harga energi di Inggris, Belanda, dan Jerman melambung tinggi. Sampai rakyat ketiga negara sekutu Amerika Serikat (AS) itu demo besar-besaran. Mereka menuntut negaranya tidak campur tangan terhadap perang Rusia-Ukraina.
Kita tahu, 41 persen kebutuhan gas Eropa berasal dari Rusia. Begitu juga 25 persen kebutuhan minyaknya. Rusia adalah negeri dengan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak dan gas Rusia adalah ke Eropa, AS, dan Cina.