Puisi Esai Denny JA: Lari Cucuku, Lari Sekencangnya
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 20 Agustus 2022 10:52 WIB
Oleh: Denny JA
ORBITINDONESIA – Konflik berlatar etnis di Lampung antara Bali dan Lampung tahun 2012 mengundang rasa prihatin mendalam di hati Denny JA, selaku pegiat hak azasi manusia yang juga seorang penulis.
Denny JA pun menulis sekumpulan puisi esai mini sebagai wujud keprihatinannya itu. Salah satu puisi esainya adalah berikut ini.
Lari Cucuku, Lari Sekencangnya
Gunung berapi meletus di Kota Lampung.
“Duaaaaarrrr”
Lahar dan batu panas berebutan keluar dari perut gunung.
Gempa bumi susul menyusul.
Tanah longsor menggulung sekitar.
Awan menjadi panas.
Sangat panas.
Tapi ini bukan gunung yang sebenarnya
Ini gunung di dalam badan Dewo.
Sepuluh tahun sudah ia memendam.
Sepuluh tahun rasa bersalah menjadi lahar panas.
Di ruang itu,
di hadapan psikiater,
yang sudah sepuluh kali berjumpa,
ditemani istrinya, Nami,
Dewo menangis.
Meraung-raung.
“Saya ada di sana pak.
Saya sembunyi di semak.
Tapi saya diam saja.”
“Itu kakek saya juga.
Dibunuh di depan saya.
Saya seharusnya berani.
Saya seharusnya datang membela.
Tapi saya takut saat itu.”
Dewo merebahkan kepalanya ke meja.
Kedua tangannya menutup kepala.
Tumpah juga semua yang ia simpan selama ini.
Ia menangis sejadi-jadinya.
Nami sang istri ikut menangis.
Ia belai kepala suami.
“Teruslah Dewo.
Ceritakan saja.
Lepaskan.
Sepuluh tahun racun ini kau pendam.”
Dewo tegakkan kepala.
Ia bersandar di kursi.
Ia kembali bercerita.
“Sebelum dibantai,
Kakek itu berjalan dengan cucunya, Natha.
Usia Natha 10 tahun.
Seumur anak saya sekarang.”
“Mereka berdua berlari.
Desa kami, desa orang Bali, diserbu penduduk asli, orang Lampung.
Puluhan rumah kami dibakar.
Itu 10 tahun lalu, tahun 2012.”
“Tapi kakek ini jalan saja sudah tak kuat.
Ia ingin cucunya selamat.
Kakek ini teriak:
“Lari Natha, lari yang kencang.
Sekencang-kencangnya.
Ke sana, masuk hutan.
Jangan tengok ke belakang.”
Natha tak mau lari.
Ujar Natha, “Aku tak mau tinggalkan kakek.”
Tapi kakek meyakinkan Natha:
“Kakek akan menyusul.
Kau dulu yang lari.
Kau harus selamat.”
“Natha pun berlari sekencang-kencangnya.
Sementara kakek itu hanya bisa berjalan pelan.
Nafasnya tersengal-sengal.
Tiga orang yang mengejar kakek itu dengan mudah menangkapnya.
Ya Allah, mereka membantai kakek tua itu.
Tanpa ampun.”
“Tak ada yang salah dengan kakek itu.
Ia hanya berasal dari etnik Bali.
Itu saja.”
“Aku di sana Pak,” kembali Dewo meraung-raung.
“Mengapa aku diam saja.
Kakek itu baik padaku.
Aku menganggapnya seperti kakek sendiri.”
“Ampun Gusti, ampun.
Saya malu dengan diri sendiri.
10 tahun saya tak cerita.”
Delapan tahun sudah Nami menikah dengan Dewo, di tahun 2014.
Konflik etnik Bali dan etnik Lampung terjadi di tahun 2012.
14 orang tewas.
Ratusan rumah dirusak dan dibakar. (1)
Saat itu, usia Dewo 25 tahun.
Ia berbadan kekar.
Pandai pencak silat.
Tapi saat itu, Dewo tak melawan.
Ia cari selamat sendiri.
Konflik terjadi di Kampung Agom, Kecamatan Kalianda, dan Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.
Sejak saat itu, Dewo pergi ke Jakarta.
Nami jumpa Dewo di Jakarta.
Baru dua tahun ini, mereka kembali menetap di Lampung.
Sejak menikah, Dewo memang pekerja keras.
Namun acapkali ia terdiam lama.
Seperti orang linglung.
Ada yang mengganggu pikirannya.
Kadang tidurnya mengingau.
Kencang sekali berteriak padahal matanya terpejam:
“Jangan, jangan, jangan.”
“Ada apa Dewo?”
Tanya Nami baik-baik, sejak tahun pertama menikah.
Dewo hanya menjawab: “oh, ini mimpi biasa. Mungkin stress soal pekerjaan.”
Tapi selama menikah,
delapan tahun sudah, berulang-ulang Dewo sering diam mendadak.
Tatapannya hampa.
Seperti orang depresi berat.
Sebagai istri, Nami merasa.
Dewo menyimpan trauma.
Tapi Dewo tak ingin cerita.
Dua bulan sudah Nami mengajak Dewo berjumpa
Psikiater.
Akhirnya, oh akhirnya.
Meletus juga gunung di dalam tubuh Dewo.
Setelah 10 tahun ia kunci rapat-rapat.
Sore itu, di beranda rumah, di Kota Lampung.
Dewo bercerita lebih banyak lagi.
“Tahun 1963,” ujar Dewo, Gunung Agung di Bali meletus.
Gunung itu ada di Kabupaten Karangasem. (2)
Satu kabupaten rusak.
Rusak pula kabupaten sekelilingnya.
Penduduk harus diungsikan.
Sebagian ikut transmigrasi.
Salah satunya ke provinsi Lampung.
Tapi Bali itu budaya yang kuat.
Di manapun mereka pergi,
budaya Bali tak hilang.
Agama Hindunya kental.
Penduduk Lampung merasa Bali ini berbeda.
Lampung kuat agama Islam.
Orang Bali dianggap penyembah berhala.
Dewa-dewa yang disembah.
Pakai sesajen.
Makan babi pula.
Beberapa orang Bali secara ekonomi berhasil.
Kaya raya.
Walau hidup berdampingan,
orang Lampung dan Bali tak menyatu.
Disulut kasus kecil saja,
konflik dua suku ini bisa meledak.
Saling membunuh.
Itu yang terjadi.
Nami meyakinkan Dewo, suaminya.
“Kau tak salah jika tak berbuat apa- apa.
Karena jika saat itu kau membela kakek,
mereka bertiga.
Kau juga bisa mati.”
“Tapi aku ahli pencak silat, Nami.
Setidaknya aku bisa melindungi kakek.
Tapi aku hanya cari selamat sendiri.
Aku bukan ksatria.”
“Aku marah, Nami.
Aku marah pada diriku sendiri.”
Dewo terus bercerita.
“Aku hadir, Nami.
Aku hadir di acara ngaben,
upacara penghormatan jenazah kakek itu.” (3)
Ia diupacarakan bersama delapan jenazah lain.’
Ini semua korban konflik etnik Bali-Lampung.
Upacaranya di Gedung Krematorium, Yayasan Bodhisattva Lampung.
Aku ingat. Pukul 08.00 aku sudah di sana.
Keluarga korban sudah di sana, sejak jam 5.00 subuh.
Mereka tampak tegar menunggu ambulan datang.
Jazad korban dibawa dengan ambulan.
Pendeta Hindu memimpin upacara:
“Semua jenazah sudah di sini. Upacara kremasi kita mulai,”
Berbunyi tabuhan musik khas umat Bali.
Kian ditabuh, rasa haru kian memuncak.
Peti mayat diputar tiga kali.
Jenazah dikeluarkan dari peti.
Kepala jenazah menghadap ke arah laut.
Pendeta Hindu kembali bicara:
’’Untuk kali terakhir, silakan keluarga melihat jenazah. Tapi jangan ada air mata.”
“Kutahan tangisku saat itu, Nami.
Natha ada di sana.”
“Natha, cucu kakek itu, yang usianya sepuluh tahun,
memegangi ujung salah satu peti. Ia menangis, tapi ia tahan, sekuat yang bisa.”
“Semakin Natha menahan tangisan, semakin aku merasa bersalah.”
Perilaku Natha menarik perhatian semua yang hadir.
Seorang ibu menjelaskan.
’’Ini peti kakeknya. Sedangkan yang di samping peti pamannya.”
Natha bercerita: “Waktu orang-orang berkelahi, saya sedang bersama kakek. Kakek terus meminta saya berlari sekencang-kencangnya menuju hutan.”
“Kakek sendiri cuma jalan pelan karena sudah tua.
Selama berlari, saya masih ingat pesan kakek. Jangan menoleh ke belakang.”
“Kakek janji menyusul, tetapi kakek tidak sampai-sampai.”
Natha terus menangis yang ditahan. Air matanya deras.
“Aku tersiksa, Nami.
Aku hujat diriku.
Aku melihat semua.
Mengapa aku diam saja.”
Pagi itu, Dewo mengajak Nami,
berkunjung ke Lampung Selatan, Desa Balinuraga.
Dewo ingin mohon ampun sekali lagi.
Ia ajak Nami ke jalan itu.
“Di sini, Nami.
Di sini kakek itu dibantai.
Aku sembunyi di sana.”
Nami mengajak Dewo berdoa di sana.
Menaburkan bunga di tempat itu.
Dewa duduk terjatuh.
Bersimpuh.
Diciumnya tanah itu.
Terus Dewo berkata:
“Kakek, maafkan aku.
Seandainya waktu bisa diulang.
Aku akan membelamu.
Aku memang selamat, kakek.
Tapi separuh nyawaku pergi.
Aku bukan ksatria.”
Dewo menangis.
Daun, ranting, rumput, angin dan awan, ikut menangis. ***
CATATAN:
1. Kerusuham etnik Bali dan Lampung di tahun 2012 menyebabkan 14 korban tewas, ratusan rumah dibakar dan ratusan pengungsi.
https://amp.kompas.com/stori/read/2021/07/30/113000879/kerusuhan-lampung-2012-latar-belakang-kronologi-dan-dampak
2. Transmigrasi etnik Bali ke Lampung dimulai ketika Gunung Agung meletus di tahun 1963.
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1725330&val=11673&title=Kami%20Bali-Lampung%20Politik%20Identitas%20Etnik%20Bali%20Migran%20dalam%20Masyarakat%20Multikultural%20Way%20Kanan%20Lampung
3. Kisah cucu yang berlari diinspirasi oleh kisah sebenarnya
http://littleadeoz.blogspot.com/2013/09/v-behaviorurldefaultvmlo_10.html?m=1
Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).
Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).