DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Retno Priyani: Maaf, Saya Terlambat

image
Ilustrasi dosen Retno Priyani dan mahasiswa di ruang kuliah

ORBITINDONESIA - Ini ditulis oleh Dra M.J. Retno Priyani, M.Si, salah satu dosen senior di Univ Sanata Dharma yang baru saja meninggal.

Tulisan berikut adalah salah satu dari tulisan bu Retno Priyani yang pernah diterbitkan oleh Komunitas Guru Menulis. Selamat jalan Bu.

“Maaf, Ibu. Saya terlambat.” Kalimat itu yang saya ( Retno Priyani ) dengar dari beberapa mahasiswa yang terlambat pada kuliah pertama saya. Saya persilakan mereka masuk.

Baca Juga: CANGGIH! Realme 10 Pro Plus 5G Pakai Layar Leap Forward, Desain Menawan, Cek Harga dan Spesifikasi Lengkapnya

“Tadi mencari ruangan dulu, ya...?” Saya maklum. Mahasiswa biasanya terlibat dalam obrolan seru dengan teman-teman yang lama tak dijumpai karena libur panjang. Mereka juga harus mencermati kembali jadwal kuliahnya, agar tak salah masuk ruangan.

Rasa senang bertemu dengan teman-teman yang lama terpisah karena libur panjang, ternyata membuat mereka lupa masuk kelas pada waktunya. Rasa senang bertemu kembali dengan mahasiswa setelah libur panjang, membuatku tak mempermasalahkan mereka yang terlambat.

“Maaf, Ibu. Saya terlambat.” Kalimat itu kalimat yang sudah ribuan kali kudengar. Sebagai dosen, saya biasa mendengar mahasiswa mengatakan kalimat itu ketika terlambat.

Saya orang yang disiplin dan menghargai waktu, namun kalau ada mahasiswa yang terlambat, saya tidak tega untuk melarangnya masuk. Saya mencoba memahami situasi mahasiswa. Saya memikirkan berbagai alasan keterlambatannya.

Baca Juga: Duta Sheila On 7 Gebrak Buka Konser Pakai Lagu Pejantan Tangguh dalam Konser Tunggu Aku di Jakarta

Mungkin rumahnya jauh; mungkin ia harus naik angkutan umum; mungkin ia harus mengantar sekolah adiknya, dan sebagainya. Saya merasa nyaman ketika dapat berempati dengan situasi mahasiswa.

Bagi saya, usaha dan perjuangannya untuk kuliah perlu dihargai. Mencoba membayangkan situasi mahasiswa juga menghindarkan saya dari rasa jengkel atau marah yang membuat saya tidak dapat mengajar dengan baik.

“Maaf, Ibu. Saya terlambat.”
Kalimat ini, pagi ini kudengar lagi.

“Ah, kamu lagi!” batinku. Saya mencoba tetap tersenyum. Sudah beberapa kali ia terlambat. Ia dengan cepat menjatuhkan pantatnya di kursi itu. Kulihat ia menghela napas. Pastilah ia tadi terburu-buru dan berlari-lari untuk sampai di ruang ini.

Baca Juga: PECAH! Tunggu Aku di Jakarta, Puluhan Ribu Penonton Padati Konser Sheila On 7 di JIExpo Kemayoran

Kubayangkan ia tergesa-gesa memarkir sepeda motornya, berlari-lari menyusuri koridor kampus yang mulai sepi. Terengah-engah menapaki tangga sampai ke lantai 2, dan masih harus berlari-lari lagi untuk sampai ke ruang kuliah yang terletak di ujung gang.

Rangkaian bayangan yang melintas di kepala, membuat saya tetap tersenyum mempersilakan ia masuk dan mengikuti kuliah.

Sebagai dosen, saya selalu berusaha memahami situasi mahasiswa saya yang sangat heterogen. Kalau ada mahasiswa yang tidak memahami materi kuliah, saya berpikir mungkin mahasiswa saya ini memang kurang cerdas.

Bukannya saya harus membantunya, bukan hanya memahaminya? Kalau ada mahasiswa yang tidak menyerahkan tugas dengan ketikan yang rapi, saya berpikir mungkin dia dari daerah, dan belum terbiasa menggunakan komputer.

Baca Juga: Konser Tunggu Aku di Jakarta, Mengingat Kembali Deretan Lagu Terbaik dan Album Everlasting Sheila on 7

Kalau ada mahasiswi yang kurang santun, saya membayangkan, mungkin ia berasal dari keluarga yang kurang mementingkan sopan santun. Mencoba memahami mahasiswa, selama ini menghindarkan saya dari berbagai perasaan yang negatif.

Saya tidak jengkel, tidak marah dan tetap senang hati menghadapi mereka. Dengan suasana hati yang positif, saya tetap bersemangat dalam mengajar. Saya tidak terganggu dengan kelakuan mahasiswa saya, yang sering kali tidak sesuai dengan harapan saya.

Tanpa rasa jengkel dan marah, saya dapat mendekati mahasiswa, dan saya dapat memberi tahu mereka hal-hal yang sebaiknya dilakukan tanpa menyinggungnya.
“Maaf, Ibu. Saya terlambat.”

Seorang mahasiswa yang sudah biasa terlambat, kali ini terlambat lagi. Ia tampak kurang tidur, wajahnya kusut. Ia segera duduk di baris paling belakang dan mencoba mengikuti kuliah. Sambil mengajar, saya sempat melihatnya ia terkantuk-kantuk.

Baca Juga: Manajemen Arema FC Buka Dialog Terkait Pengrusakan Kantor oleh Aremania

Makin kuamati, makin kuat dugaanku bahwa ia kesulitan mengikuti kuliah dengan baik. Berkali-kali saya mencuri pandang untuk melihatnya.

Ia tampak malu ketika saya memergoki ia sedang tidur, dan pas bangun, matanya bertatapan pandang dengan mata saya. Ia menjadi tampak gelisah dan tidak tenang.

Saya senang, ketika sehabis kuliah ia meminta waktu bertemu. Di dalam ruang kerja saya, ia ceritakan alasan keterlambatannya selama ini. Juga alasan keterlambatannya hari ini. Ternyata ia terlambat bukan karena malas.

Mahasiswa itu, sebut saja namanya Galih, adalah anak bungsu dari 4 saudara. Bapaknya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kakak-kakaknya sudah meninggalkan rumah karena bekerja atau menikah. Ia menjadi anak satu-satunya yang masih tinggal bersama ibunya.

Baca Juga: Kabupaten Nagan Raya Aceh Promosikan Arung Jeram untuk Tarik Turis

“Ibu saya sudah sepuh, Ibu. Saya satu-satunya anak yang masih di rumah, dan saya harus merawat Ibu dulu sebelum berangkat kuliah. Saya harus memandikan Ibu saya, mengganti pakaiannya dan merapikan tempat tidurnya, sebelum saya ke luar rumah.

Kadang Ibu belum bangun, dan saya harus menunggu sampai Ibu bangun. Kadang agak lama Ibu mengunyah makanan, dan saya harus sabar menyuapinya. Kadang Ibu mengompol, dan perlu waktu agak lama untuk membereskan tempat tidurnya.

Saya sudah bangun pagi, bahkan teramat pagi, tetapi itu tidak menjamin semua yang harus saya kerjakan dapat segera selesai. Maafkan saya, Ibu!”

Kalimat sederhana itu seolah menampar muka saya. Anak muda ini begitu berbakti kepada ibunya. Sedangkan saya? Sudah berapa lama saya tak pulang ke rumah untuk menengok Bapak-Ibu yang juga sudah sepuh? Kapan saya terakhir kali menelepon Bapak-Ibu?

Baca Juga: Inilah Tiga Calon Sekda DKI Jakarta yang Lolos Seleksi

Apa yang pernah saya lakukan untuk orang tua saya? Saya tersenyum mendengar permohonan Galih, tapi pikiran saya sibuk dengan berbagai pertanyaan yang menohok ulu hati saya. Malu yang amat sangat, tanpa ada seorang pun yang mempermalukan.

Sudah lebih dari 2 bulan saya tidak pulang. Memang selalu ada alasan untuk tidak pulang ke rumah: ada kondangan, arisan, kurang enak badan, ada acara di rumah dan lain-lain.

Rasanya sah-sah saja tidak pulang ke rumah karena ada acara. Padahal, jujur saya mengakui kalau sebetulnya masih bisa meluangkan waktu untuk menengok Bapak-Ibu.

Saya jadi ingat ketika suatu kali bapak menanyakan kapan bisa punya waktu pulang ke rumah, bersama-sama dengan kakak dan adik yang lain.

Baca Juga: Tiga Kurator dan Kritikus Seni Rupa Ini Membahas Buku Lukisan Artificial Intelligence Karya Denny JA

Bukannya segera kusanggupi tanggal tertentu, tapi segera kupamerkan berbagai acara yang sudah mengisi hari-hari dalam buku agenda saya. Rasanya ada kebanggaan menjadi seseorang yang padat acara.

Bahkan rasanya sudah ada acara dari jam ke jam, dari hari ke hari. Tapi, Bapakku (yang pensiunan guru) punya tanggapan yang membuatku terdiam, dengan lidah kelu: “Harusnya, kamu isikan dahulu acara pulang ke rumah, menengok orang tua. Acara lain, di sisa waktunya!”

Sebagai anak, kadang saya merasa orang tua saya tak membutuhkan apapun. Beliau tak membutuhkan kiriman uang, karena uang pensiun beliau berdua lebih dari cukup untuk hidup sehari-hari.

Bapak Ibu juga tak membutuhkan pakaian pemberian dariku, karena pakaian di almari sudah memadai untuk kegiatan beliau sehari-hari. Apabila membutuhkan sesuatu, Bapak dapat membelinya di toko atau warung yang tak jauh dari rumah, karena kebetulan beliau tinggal di pusat kota.

Baca Juga: 3 Orang Terluka Akibat Serangan Aremania ke Kantor Arema FC, Polisi Ancam Tangkap Pelaku Kericuhan

Saya sering kali merasa tidak punya kewajiban untuk menengok beliau karena sudah ada pembantu rumah tangga yang menemani. Bahkan, untuk bepergian, Bapak dan Ibu tinggal memilih: apakah naik taksi atau becak.

Bukankah sudah ada Mas Sarmin, tetangga sekaligus pengemudi becak langganan keluarga kami yang siap mengantar setiap saat?

“Bagaimana kabarnya Ibu, Mas? Kalimat itu sekarang sering kali menjadi kalimat sapaan yang sering saya ucapkan ketika bertemu dengan Galih. Agaknya pertanyaan saya menjadi sapaan yang memancing Galih untuk bercerita panjang lebar tentang ibunya.

Saya melihat ekspresi kebahagiaan yang memancar dari wajah Galih. Saya senang mendengar ceritanya. Kadang ia bercerita hal-hal lucu yang terjadi pada orang tua. Kadang ia menceritakan kejengkelannya karena sulit memahami keinginan ibunya.

Baca Juga: BRI Liga 1: Madura United Melawan Persebaya Surabaya, Bajul Ijo Lanjutkan Tren Positif

Tak jarang ia cerita tentang kebanggaannya dapat menemukan cara baru dalam merawat ibunya. Mendengar cerita Galih seperti ikut kuliah Gerontologi, sekaligus mendengarkan sharing dari seseorang yang memiliki segudang cerita yang tak pernah habis.

Agaknya Galih pun merasa menemukan pendengar yang setia. Ia sekarang sering menemui saya, hanya untuk sekadar menceritakan pengalaman barunya yang belum pernah saya ketahui.

Ia seolah menemukan tempat sampah yang siap menerima cerita apapun juga, termasuk unek-uneknya. Kadang saya ikut hanyut dalam cerita Galih. Ikut tersenyum, jengkel, tergelak, tapi juga ikut merasakan kelegaan dan kepuasan. Ternyata, emosi itu menular.

Berbagai emosi yang kualami berkat mengikuti cerita Galih, bak bunga aneka warna yang membuat hidup saya lebih indah. Kepenatan kerja sering kali berkurang dan akhirnya sirna apabila mendengarkan cerita Galih.

Baca Juga: BRI Liga 1: Persija Melawan Persikabo 1973, Gol Penalti Antarkan Persija Kembali Ke Puncak Klasemen

Tak terasa perjumpaan dengan Galih yang selalu men-sharing-kan pengalaman merawat ibunya, mengubah tingkah laku saya. Saya sekarang sering pulang ke rumah. Bahkan, dapat dikatakan saya punya jadwal pulang ke rumah.

Tak hanya menengok beberapa jam, tetapi sengaja kucari kesempatan untuk menginap di rumah. Menginap di rumah, memungkinkan saya dapat mendengar cerita dari Bapak dan Ibu. Bapak banyak cerita tentang teman-temannya, tamu yang berkunjung, kesehatannya dan sebagainya.

Bapak juga sering bercerita bagaimana pengalaman lucu sebagai orang tua, sambil tertawa terkekeh-kekeh, menertawakan dirinya sendiri. Begitu pun Ibu, tak sedikit cerita yang ingin dikatakan.

Kadang, Bapak ingin juga mengajak diskusi tentang berbagai berita tentang perkembangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Saya terkadang agak kewalahan karena kurang mengikuti perkembangan dunia.

Baca Juga: Tiga Sungai di Dunia yang Mencuci Dosa Kita

Maklum, Bapak sebagai pensiunan memiliki waktu yang lebih longgar untuk membaca, mendengarkan radio maupun melihat televisi.

Berkunjung ke rumah orang tua, ternyata memberi pengalaman yang luar biasa. Mencermati cerita orang yang sudah tua, kita mendapatkan informasi pengalaman beliau pada waktu dulu, menangkap nilai-nilai yang mendasari tindakan beliau, mengetahui persepsi orang tua terhadap banyak hal dan menyerap semangat hidup beliau.

Banyak hal yang dapat diteladani dari beliau yang sudah sepuh.

“Tolong Ndhuk, nanti kukuku dipotong, ya!” atau “Ndhuk, nanti pijit kakiku, ya..!” Permintaan sangat sederhana. Permintaan yang mudah dipenuhi; dan ternyata membuat Bapak-Ibu bahagia.

Baca Juga: Sebut Klub Amoral, Aremania Tuntut Arema FC Mundur Dari Kompetisi Liga 1

Sebetulnya Bapak-Ibu dapat meminta tolong orang lain, namun ketika yang melakukan anak sendiri, berbeda rasanya. Kadang saya menangkap ada bentuk kemanjaan kepada anaknya.

Anehnya, memanjakan orang tua dengan cara-cara yang sangat sederhana menjadi pengalaman yang luar biasa.

Ketika saya menjadi sering pulang ke rumah dan merasakan kebahagiaan berada di rumah, saya dapat memahami alasan mengapa Galih penuh semangat merawat orang tuanya. Saya jadi teringat peristiwa di mana Galih terlambat ujian dan hampir-hampir dilarang ikut ujian.

“Kok hanya ujian, Bu. Kalau memang saya harus ketinggalan kuliah karena merawat Ibu, saya tidak keberatan. Kalau saya dimarahi, akan saya dengarkan. Bagi saya, ujian masih dapat ditempuh lain waktu, tapi merawat Ibu yang telah melahirkan saya, tak dapat ditunda lagi. Saya akan menyesal sepanjang hidup, kalau saya mengalahkan Ibu saya demi kepentingan pribadi saya.” Luar biasa engkau, Galih!

Baca Juga: Viral di TikTok Ojol Sebut Matahari Terbit dari Barat, Semua Langsung Kaget

Yang terpenting dan tak dapat tergantikan adalah perasaan senang, bahagia, puas ketika dapat menemani orang tua. Perasaan bahagia bahwa sebagai anak sudah sedikit membalas budi baik orang tua yang telah mengasuh dan mendidik kita.

Perasaan senang ketika melihat orang tua sehat, dan tak kurang suatu apa. Perasaan senang melihat senyum terkembang di wajah orang tua, ternyata menjadi pengalaman yang tak tergantikan.

Terima kasih Galih, engkau telah mengajarkan banyak hal kepada kami semua. Tak melalui kata, tapi tindakan nyata. Terima kasih Galih, engkau menjadi teladan anak yang berbakti kepada ibunya.

Terima kasih Galih, engkau membuat saya kaya akan pengalaman penuh perasaan bersama orang tua. Pengalaman yang melibatkan perasaan itu tak ternilai dan tak dapat dibeli di mana pun juga.***

Berita Terkait