DECEMBER 9, 2022
Kolom

Benteng Bali (Itu) Bernama Selat, Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

image
Pulau Bali.

ORBITINDONESIA.COM - Yang membatasi pulau Bali dan Jawa adalah Selat Bali. Ada di sebelah barat Bali. Sedangkan di timur, yang membatasi Bali dan Lombok, adalah Selat Lombok.

Barat dan timur, Bali dibatasi selat. Utara dan selatan, dibatasi samudra. 

Secara teknis, Jawa–Bali bisa disambungkan dengam jembatan. Asal ada kemauan jadi itu barang.

Baca Juga: I Wayan Suyadnya: Di Masa Mendatang, Perlu Satupena Awards untuk Penulis di Tingkat Daerah

Jaraknya tidak sejauh jarak mimpi, teknologi kita bukan lagi zaman memikul batu di bahu, insinyur kita tak kalah dari yang merangkai jembatan di atas selat-selat dunia.

Secara ekonomis, jika ada rencana membangun jembatan Jawa - Bali tak sulit mendatangkan investor. Ibarat di mana ada gula di sana ada semut. Investor pun akan datang tanpa diundang, karena lalu lintas orang, kendaraan, barang, dan jasa dari Jawa ke Bali, dan sebaliknya, mengalir tanpa henti.

Jembatan Jawa–Bali bahkan tampak lebih menguntungkan daripada tol Denpasar–Gilimanuk. Tol butuh pembebasan lahan, jembatan tidak.

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Ekonominya pun lebih menjanjikan ketimbang Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dan Madura.

Mengapa jembatan Jawa-Bali tak kunjung ada? Mengapa ide itu ditolak?

Di sinilah paradoks mulai berbisik.

Baca Juga: Tenget dan Surat Edaran Gubernur Bali 07/2025: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Kesampingkan dulu cerita-cerita tentang mitos, keyakinan, atau bisikan klenik yang berhembus dari generasi ke generasi.

Kita berbicara dengan logika yang telanjang, yang mampu memandang Bali sebagai perahu di tengah samudra.

Perahu itu punya kapasitas. Ada batas beban yang bisa ia pikul, kelebihan beban bisa membuatnya tenggelam. Bali pun ibarat perahu, kelebihan penumpang bisa oleng, bisa tenggelam.

Baca Juga: Praktisi Hukum Gede Pasek Suardika: Surat Edaran Gubernur Wayan Koster Tak Bisa Dijadikan Acuan Hukum

Jembatan Jawa–Bali ditolak bukan karena tak mampu membangunnya, tapi karena ketakutan akan arus yang tak terbendung. Jika jembatan itu ada, lalu lintas orang, barang, dan jasa, akan mengalir bebas tanpa rem.

Bali akan sesak. Bali akan penuh. Bali pun bisa tenggelam.

Maka, laut pun menjadi benteng. Semesta berbentuk selat menjaga Bali berabad-abad. Orang luar Bali jika hendak ke Bali dibuat susah payah. Ia harus mengarungi selat yang ganas, arusnya dikenal sangat deras. Arus deras dan gelombang menjadi pagar hidup.

Baca Juga: Gubernur Wayan Koster tidak akan Biarkan Ormas Bekelakuan Preman di Bali

Tapi lihatlah, paradoks itu tiba-tiba mengintip dari balik awan. Laut di Selat Bali yang dijadikan penghalang, namun langit kita buka selebar-lebarnya.

Jembatan ditolak,  bandar udara disambut seperti pahlawan. Orang diundang untuk terbang, mendarat, menginjak tanah Bali. Mereka datang tak lewat jembatan, tapi dimudahkan mellaui bandar udara. Ada yang terngiang membangun bandar udara baru, menambah bandar udara lagi di Bali utara yang konon lebih megah dari bandar udara di Singapura dan Hongkong.

Menolak jembatan Jawa - Bali, tapi membuat "jembatan" udara, di.mana konsistensinya?

Baca Juga: Gubernur Bali Wayan Koster Minta Kepala Kesbangpol Baru Hadapi Ormas Preman

Bukankah bandar udara adalah jembatan yang melayang? Penghubung satu daerah dengan daerah lain?

Jika jembatan darat ditolak karena takut kebanjiran manusia, mengapa bandar udara malah diinginkan?

Para penolak tidak konsisten. Jika jembatan Jawa - Bali ditolak, bandar udara juga tidak perlu.

Baca Juga: Bali 100 Tahun Nanti, Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Bahkan, pembatasan terhadap wisatawan asing maupun domestik juga sudah harus ditempuh. Waktunyaa tidak berbicara kuantitas lagi, melainkan wisatawan berkualitas.

Seperti apa wisatawan berkualitas itu?

Rumuskan saja ala Bali. Jangan menginginkan wisatawan berkualitas dengan menyulap kamar kos menjadi hotel dengan harga kos-kosan.

Baca Juga: Bali Punya Haluan, Indonesia Mana? Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Jangan menyulap panti pijat menjadi spa, atau sengaja memberi izin untuk menyulap sawah dan lahan subur menjadi vila dan beton bertingkat.

Konsistensi sangat penting. Konsistensi agar Bali didatangi wisatawan berkualitas, bukan wisatawan ecek-ecek yang hanya kencing dan menikmati subsidi selama di Bali.

Mendatangkan orang berkualitas maka Bali juga harus berkualitas. Selain objek wisatanya berkualitas, sarana dan prasarananya juga harus berkualitas, termasuk orang-orangnya, penduduk Bali harus berkualitas.

Pernahkah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menyaring penduduk Bali melalui KTP yang mereka keluarkan agar penduduk Bali berkualitas?

Yang ada justru mempermudah. Mempermudah? Siapa yang dipermudah?

Saya sempat nongkrong di kantor catatan sipil, yang mengurus KTP namanya aneh-aneh, seperti bukan nama Bali. Kok bisa ya? Lagi-lagi soal konsistensi. Semua harus konsisten menjaga Bali.

Bali sekarang dihuni 4,4 juta jiwa yang berstatus penduduk Bali, belum termasuk wisatawan domestik dan mancanegara yang datang dan pergi, membuat penghuni Bali bertambah banyak.

Tentu saja itu beban pada air, listrik, logistik dan seluruh daya dukung yang terbatas. Beban lain seperti sampah yang belum terurai, macet dan persoalan sosial lainnya juga perlu dihitung dengan cermat.

Jika kita ingin menolak jembatan itu terdengar masuk akal, maka kita harus berani menghitung batas kapasitas Bali.

Waktunya juga Bali berkata: “Cukup. Wisatawan segini saja.”

Bandar Udara Ngurah Rai hanya menerima jumlah tertentu, cukupkan segitu, pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai hanya menampung arus orang, barang dalam kadar yang sudah ditentukan segitu, ya cukupkan.

Cukup berarti tidak menambah kamar hotel, tidak menambah resort. Tidak lagi membangun yang menggerus lahan Bali yang subur.

Apakah pendapatan Bali akan berkurang?

Saya rasa tidak. Jika pungutan wisatawan asing kurang, jika kini sepuluh dolar, naikan jadi dua puluh.

Kenapa tidak? Tidak mau? Jangan datang.  Sesederhana itu, konsisten yang penting.

Biarkan Bali menjadi mahal. Biarkan hanya mereka yang benar-benar menghargai Bali yang datang, bukan mereka yang hanya berbekal sandal jepit, gendong ransel, jalan dari objek satu ke objek lain dengan dompet tipis.

Beranikah kita? Saya kira saatnya untuk berani. Jembatan Jawa - Bali berani ditolak, reklamasi Teluk Benoa juga ditolak, bandar udara Bali utara pun mestinya ditolak dan tak perlu ada.

Beranikah?***

Denpasar, 5 Agustus 2025

Halaman:

Berita Terkait