Ketika Burung-burung Mengitari Kakbah
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 03 Agustus 2025 07:24 WIB

Buku ini tidak hanya memotret Kakbah dan Masjid Nabawi, tetapi juga memotret wajah batin penulisnya, dalam berbagai ekspresi: lelah, terpukul, gembira, hening, penuh air mata.
Buku ini cukup tebal, lebih dari 400 halaman, lima bab besar, dan 55 esai. Ibarat buku ini samudra, saya menemukan tiga intan, yang merupakan tiga gagasan utama.
Pertama: Tuhan Tidak Tinggal di Tanah Suci, Ia Bersarang di Ruang Kosong Dalam Diri
Banyak orang membayangkan naik haji adalah jalan pintas untuk “menemui Tuhan”.
Seolah-olah Kakbah rumah eksklusif Sang Pencipta. Cukup dengan menyentuh dindingnya, segala persoalan hidup akan dibereskan secara otomatis.
Buku ini dengan berani membongkar ilusi itu. Elza menggambarkan bagaimana ia tiba di Mekkah dengan koper penuh harap, tapi justru dihantui kesunyian dan kebingungan.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Berhadapan dengan Makam Nabi Muhammad SAW
Di tengah lautan manusia, ia merasa sepi. Di tempat yang katanya paling sakral, ia justru merasa paling jauh dari Tuhan. Mengapa?
Karena Tuhan tak bisa ditemukan di luar jika hati masih riuh, jika ego masih bising.
Karena Tuhan bukan tempat—ia adalah ruang. Dan ruang itu tak akan terisi jika kita tak berani mengosongkan diri.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Gunung Batu Berseni Itu, Al Ula Saksi Sejarah
Buku ini menuntun pembaca menuju satu kesadaran penting: spiritualitas bukan tentang lokasi, tetapi suasana batin.