DECEMBER 9, 2022
ORBITINDONESIA

Menemukan Kebebasan Sejati: Pelajaran dari Buku “Berani Tidak Disukai”

image

ORBITINDONESIA.COM - Dalam dunia yang penuh tuntutan sosial, ekspektasi keluarga, dan tekanan media sosial, muncul satu pertanyaan mendasar: bisakah kita hidup bahagia tanpa harus menyenangkan semua orang? Buku Berani Tidak Disukai karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga hadir sebagai jawaban berani atas pertanyaan tersebut.

Ditulis dalam bentuk dialog antara seorang filsuf dan seorang pemuda yang gelisah, buku ini mengupas pemikiran revolusioner Alfred Adler, seorang psikolog Austria yang kerap dianggap sebagai "saingan" Freud dan Jung.

Dialog antara dua tokoh utamanya membimbing pembaca secara perlahan, dari rasa tidak nyaman menuju pencerahan yang mendalam tentang kebebasan psikologis.

Baca Juga: Dzikri Muhammad Maulansyah: Produksi 7 Buku, 6 Jurnal Ilmiah, dan 45+ Kejuaraan Nasional hingga Internasional

Tema sentral buku ini adalah "kebahagiaan adalah pilihan", dan bahwa kita sepenuhnya bertanggung jawab atas kehidupan kita, terlepas dari pengalaman masa lalu.

Salah satu ide paling mencengangkan dalam buku ini adalah bahwa trauma masa lalu tidak menentukan siapa kita hari ini.

Dalam psikologi Adlerian, bukan pengalaman yang penting, tetapi makna yang kita berikan pada pengalaman tersebut.

Baca Juga: Buku "Deep Work" oleh Cal Newport: Seni Menyelami Fokus di Era yang Bising

Artinya, kita bisa memutus rantai penderitaan, trauma, dan dendam jika kita memilih untuk tidak lagi hidup di bawah bayang-bayangnya.

Gagasan ini begitu membebaskan—sekaligus menantang—karena menggugurkan posisi kita sebagai “korban” dan mengajak kita menjadi pencipta kehidupan kita sendiri.

Bagian paling menyentuh dari buku ini adalah saat sang filsuf menyatakan bahwa “semua masalah manusia adalah masalah hubungan.”

Baca Juga: Buku Neospirituality and Neuroscience: Puncak Evolusi kemanusiaan

Di sinilah buku ini menyentuh sisi terdalam kehidupan kita: relasi dengan orang tua, teman, pasangan, bahkan dengan diri sendiri.

Dengan membongkar ilusi tentang pengakuan sosial dan mengganti pencarian validasi dengan keberanian untuk hidup sesuai nilai pribadi, buku ini mengajarkan bahwa menjadi ‘disukai’ bukanlah syarat untuk menjadi bahagia.

Apa yang membuat Berani Tidak Disukai begitu relevan adalah keberaniannya untuk membalik paradigma.

Di saat banyak buku self-help mengajak kita menjadi lebih baik agar diterima, buku ini justru menyarankan kita untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan dan memilih hidup otentik, walau mungkin tidak disukai. Inilah esensi kebebasan sejati: hidup tanpa rasa takut akan penilaian orang lain.

Buku ini bukan sekadar bacaan ringan tentang percaya diri, melainkan sebuah peta untuk transformasi batin. Ia tidak menawarkan solusi instan, tetapi membuka ruang refleksi bagi siapa saja yang lelah dengan pencitraan dan ingin kembali ke rumah paling hakiki: diri sendiri. 

Membaca Berani Tidak Disukai seperti diajak berdialog dengan suara hati sendiri—jujur, kadang menyakitkan, tapi pada akhirnya menyembuhkan.***

Halaman:

Berita Terkait