DECEMBER 9, 2022
Buku

Supriyanto Martosuwito: Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS Penuh Cerita yang Menarik

image
Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS (Foto: Supriyanto Martosuwito)

“Menjadi wartawan adalah sebuah pilihan,” kata Albert Kuhon yang bergabung dengan ‘Kompas’ sejak 1982. Dia satu angkatan dengan Tri Sabdono (Bre Redana), Eko Warjono, Budiarto Shambazy, Bambang Sukartiono, Noorca Massardi dan Ninok Leksono. Albert Kuhon sudah menjadi asisten manajer perusahaan ketika melamar di Kompas dan menerima gaji sepertiganya sebagai wartawan baru. Dia memang memilih jadi wartawan.

“Menjadi wartawan bukanlah untuk menjadi kaya. Menjadi wartawan itu panggilan jiwa, “ kata Pemred Kompas Jakob Oetama - yang dikutip Albert. “Sayangnya banyak wartawan menjadi kaya dan kemudian lupa bahwa dirinya adalah seorang wartawan, ” keluh Albert Kuhon, kemudian.

Dalam kurun tujuh tahun pengabdiannya di ‘Kompas’, ngepos di desk Hukum, Albert Kuhon mengenangkan pengalamannya menginvestigasi pembunuhan, penyelundupan berlian, penembakan para gali (petrus), kronik di LBH, dan banyak lagi.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Pemilih Perempuan Lebih Condong ke Ganjar Pranowo

Albert Kuhon ternyata juga mendatangi gudang mesiu milik KKO di Cilandak saat meledak, 29 Oktober 1984. Dan masa itu pun sebagai reporter baru, saya nekad ke sana, memotret para warga yang berlarian menjauh dari gudang yang meludeskan 2.000 ton amunisi yang terdiri dari peluru roket, howitzer, mortir, granat, dan meledak dan melesat ke berbagai arah itu. Saat warga berlarian mengungsi, justru saya dengan kamera di tangan mendatangi pusat ledakan yang masih membara di Cilandak. Memotret suasananya.

Hasilnya, untuk pertama kali foto-foto saya tampil sebagai banner di atas ‘headline’ di halaman pertama koran ‘Pos Kota’. Prestasi yang ‘wow’ untuk wartawan baru. Rentetan foto saya kembali tampil di banner saat Mick Jagger konser di Stadion Senayan 30 Oktober 1988.

BUKU ‘Kesaksian 23 Wartawan Kompas’ ini wajib dibaca oleh para wartawan - calon wartawan dan mantan wartawan - dari media apa pun dan mana pun. Sejarah Pers Nasional (hal 1- hal 116) dan pengalaman 23 wartawan kawakan dari media nasional dan terkemuka - begitu lengkap, bukan semata cerita profil pribadi, melainkan pengalaman liputan, menyiasati perkembangan lapangan. Menghadapi tekanan narasumber, aparat, atasan di kantor, dan kehidupan jalanan - sejak 1967 hingga kini - secara rinci. Hal hal yang tak didapat di sekolah tinggi publistik dan akademi jurnalistik - ada di sini.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Sebut Gibran Maju Pilpres 2024 adalah Bentuk Politik Dinasti

Konon di ‘Kompas’ ada 250 wartawan. Sungguh saya berharap ada cerita dari 23 wartawan ‘Kompas’ lainnya - untuk seri berikutnya. Tentulah masing masingnya punya cerita lebih menarik.

(Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior.) ***

Halaman:

Berita Terkait