DECEMBER 9, 2022
Buku

Supriyanto Martosuwito: Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS Penuh Cerita yang Menarik

image
Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS (Foto: Supriyanto Martosuwito)

“Coba Tuan tunjukan kepada saya mana ayat atau hadis yang menyatakan jurnalis tidak boleh naik haji? Coba tunjukkan!“ protesnya dengan nada tinggi kepada stas kedutaan Saudi di Belanda itu. Visanya ditolak karena dia berstatus wartawan. Staf Kedutaan Arab menyatakan itulah aturannya.

Azkarmin terus berteriak, sampai atasannya datang. “Coba bikin Surat Perjalanan laksana Paspor ke KBRI dan tulis profesi lain, visa saya berikan. Saya tunggu sampai jam 5 sore ini,” kata diplomat yang menangani visa, mengalah.

Hari sudah siang, dia harus ke KBRI dan tak ada taksi, sehingga harus berhujan hujan jalan kaki sejauh satu kilometer. Ternyata pejabat KBRI rekannya di ‘Warta Harian’. Surat Laksana Parpos diberikan dan diantar kembali ke Kedutaan Arab dengan mobil KBRI.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Pemilih Perempuan Lebih Condong ke Ganjar Pranowo

Ibadah Haji lewat Amsterdam merupakan haji yang ke dua bagi Azkarmin - dan masih dibayari oleh Pemred Jakob Oetama - dengan syarat pulang bawa tulisan. Azkarmin merasa malu jika gagal dapat visa. Karenanya, dia protes keras di Amsterdam.

Sebelumnya dia ditahan oleh Imigrasi Mesir, karena masuk dengan rombongan presiden, menggunakan paspor hitam, tapi pulang dengan paspor hijau. Karena tak ada cap masuk di imigrasi, dia dianggap penyelundup. Repotnya petugas Imigrasi Mesir tak bisa bahasa Inggris. Dia sempat dikurung tiga jam, sampai utusan KBRI di Kairo turun tangan juga dan membebaskannya. Hingga ketinggalan pesawat.

BANYAK cerita menarik, menegangkan, mengharukan dari para wartawan media terkemuka ini. Mereka adalah para jurnalis yang mengolah berita dari hasil mencari, menyusuri, menghadapi banyak hambatan dan ketidakpastian di lapangan. Narasumber kerap tidak kooperatif - sulit ditemui saat diperlukan. Sebagai media harian, dikejar ‘deadline’. Juga dikejar gajah yang mengamuk - seperti yang dialami Rudi Badil di daerah transmigrasi Sugihan, Sumatera Selatan 1982 - lari lintang pukang dan masuk ke rawa rawa - demi mengindar dari kejaran gajah.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Sebut Gibran Maju Pilpres 2024 adalah Bentuk Politik Dinasti

Belum lagi rezim militer Orde Baru yang seenaknya menentukan mana yang boleh dan tidak boleh diberitakan.

Pepih Nugraha II menganggap ‘Kompas’ sebagai ‘kampus’ dalam kehidupannya. Di sana dia belajar dan mengembangkan diri. Selama 26 tahun bergabung di ‘Kompas’ : 10 tahun jadi pustakawan dan 16 tahun jadi wartawan, memberikan banyak pelajaran hidup baginya.

Pepih, pendiri blog ‘Kompasiana’ juga menyebut ‘Kompas’ sebagai ‘Indonesia Mini’. “Saya ‘double minority’ di ‘Kompas’. Saya Muslim dan Sunda, ” kata Sarjana Komunikasi dari Univ Padjadjaran asal Tasikmalaya ini. Suku Jawa dan Katolik merupakan mayoritas di ‘Kompas’. Candaan “dasar Jawa lu! ” atau dasar Katolik lu! ” hal biasa di redaksi ‘Kompas’. “Nggak ada yang bilang ‘dasar Sunda lu, ” selorohnya. ‘Kompas’ rutin mengirim wartawannya berhaji dan tak ada kiriman jurnalis Katolik ke Roma atau ‘tanah suci’ lainnya

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Prabowo-Gibran Bertengger di Puncak dengan Elektabilitas 39,3 Persen, Pilpres Bisa 2 Putaran

Tokh dia punya kritik keras juga kepada ‘Kompas’. Menurutnya ‘Kompas’ terlalu nyaman dengan bisnis media cetaknya dan lalai menghadapi gelombang media online. Sehingga telat merespon perkembangan teknologi informasi dan perubahannya.

Halaman:

Berita Terkait