DECEMBER 9, 2022
Buku

Supriyanto Martosuwito: Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS Penuh Cerita yang Menarik

image
Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS (Foto: Supriyanto Martosuwito)

PARA JURNALIS yang berkisah di buku ini sebagiannya, mengawali karir kewartawanan sejak awal berdirinya ‘Kompas’ - diajak bergabung hanya berdasarkan kenal pribadi dan tulisannya dimuat di ‘Kompas’. Rekrutmen tertutup. Lalu kemudian berlangsung rekrutmen terbuka, diumumkan dan diiklankan. Pelamar berdatangan, menjalani seleksi, tes, psikotes dan pelatihan.

Saya mengenal sejumlah rekan sepeliputan di ‘Kompas’ dan dari buku ini terkuak kehidupan di baliknya. Misalnya Mas Efix Mulyadi yang ngepos di TIM dan GKJ, juga Balai Budaya, sesama peliput kebudayaan. Orangnya kalm, santun, dan disukai para seniman. Saya mengira dia priyayi, karena pembawaannya yang santun dan “mriyayeni” - tutur katanya halus. Ternyata, di buku ini, terungkap dia pernah menjalani kehidupan sebagai pengamen di Solo, dan ‘menggelandang’ di Jakarta.

Saat diminta menjadi wartawan ‘Kompas’ - setelah sebelumnya menjadi ‘freelancer’ - dia belum punya sepatu. “Saya betul betul miskin pada masa itu, ” katanya. Pensiun dari ‘Kompas’ (Desember 2009), Mas Efix kemudian dipercaya mengelola ‘Bentara Budaya’ dan Kurator di Water Color Society (IWS).

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Pemilih Perempuan Lebih Condong ke Ganjar Pranowo

Dalam memori saya sebagai awak media perkotaan awal 1980an, wartawan ‘Kompas’ mudah menembus siapa pun, utamanya para elite pemerintah dan cendekia. Menteri pun bisa ditelepon malam malam di rumahnya, sebagaimana cerita teman yang menyatakan, “wawancaranya lewat telepon saja”. Pada kenyataannya tidak demikian.

Ace Suhaedi Madsupi, misalnya, hampir sebulan ditolak untuk wawancara dengan Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. Mantan Gubernur Bank Indonsia (BI) itu terus menghindar bila ditanya dan ditemui. Segala cara dilakukan dan nihil. Sampai kemudian Ace menempuh jalan nekad, mendatangi rumah dinasnya di Kemang, pagi pagi, mengganjal pintu gerbangnya dengan Vespa yang dikendarainya. Sengaja menghalangi mobil menteri itu. Dia menolak perintah ajudan untuk menggeser Vespanya, sebelum Rachmat Saleh mau menerimanya.

“Hai, anak muda. Saya hargai usaha kamu. Nanti kita bicara di kantor”. Ace pun membuka jalan, dan datang lebih awal di kantor menteri pedagangan, diterima di ruang kerjanya. Hasil wawancara kemudian tampil sebagai ‘headline’ (berita utama) keesokan harinya.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Sebut Gibran Maju Pilpres 2024 adalah Bentuk Politik Dinasti

Ace mengaku, menjalani profesi wartawan sempat membuatnya lelah pikiran, lelah perasaan dan lelah fisik. Dia pernah dipanggil dan diperiksa ABRI setelah redaksi mendapat telepon berkali kali - terkait berita. Saat meliput PON di Senayan, harus bolak balik ke kantor, tanpa kendaraan, dia nyaris menyerah. Ace pernah ditanya; “Apa saudara siap jadi wartawan 24 jam dalam sehari?” Kenyataannya, lebih dari itu!

Hidup wartawan tidak berpola, serba ingin tahu dan biasa bertaruh resiko. Pada kondisi tertentu keselamatan diri tidak dikesampingkan, keselamatan anak isteri tidak dipehitungkan. Ace S Madsupi pernah mencoba masuk Bosnia-Herzegovina, yang tengah dilanda perang, saat menjalani tugas liputan ke Rumania. Masuk Nairobi - Kenya, yang sedang ada kudeta. Mencoba masuk Ethiopia dan Tiongkok, ketika negeri itu masih tertutup. Semata mata memenuhi rasa ingin tahu itu.

Sampai kemudian hasil liputannya berdampak dan ikut mengubah kebijakan pemerintah. Dia merasa keracunan. Racun kewartawanan yang memabukkan.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Prabowo-Gibran Bertengger di Puncak dengan Elektabilitas 39,3 Persen, Pilpres Bisa 2 Putaran

CERITA Azkarmin Zaini lain lagi. Jurnalis ‘Kompas’ yang kemudian jadi memimpin ANTV itu ditolak visa hajinya di Kedutaan Arab di Amsterdam.

Halaman:

Berita Terkait