Mencintai Diri Sendiri Apa Adanya: Sebuah Pelukan dari Haemin Sunim dalam Buku "Love for Imperfect Things"
- Penulis : Khoirotun Nisak
- Rabu, 09 Juli 2025 15:00 WIB
.jpg)
ORBITINDONESIA.COM - Dalam dunia yang dipenuhi tuntutan untuk selalu sempurna—tampil ideal, berpikir positif, berprestasi tinggi—buku Love for Imperfect Things: How to Accept Yourself in a World Striving for Perfection karya Haemin Sunim terasa seperti pelukan hangat yang meredakan luka batin.
Sebagai seorang biksu Zen Korea dan penulis spiritual yang digemari di seluruh dunia, Haemin menyuguhkan refleksi lembut namun dalam tentang bagaimana kita bisa mulai mencintai diri sendiri—bukan karena kita sempurna, tetapi justru karena kita tidak sempurna.
Buku ini dibagi menjadi delapan bab tematik, masing-masing membahas aspek keseharian kita: dari hubungan dengan keluarga, pekerjaan, cinta, hingga bagaimana kita memandang kegagalan dan masa lalu.
Baca Juga: Revolusi Pemikiran Feminis, dalam Buku "The Second Sex," Simone de Beauvoir
Dengan gaya bahasa yang sederhana dan kontemplatif, Haemin menyampaikan satu pesan utama yang sangat relevan: “Hanya ketika kamu bersedia merangkul ketidaksempurnaanmu, kamu bisa mulai benar-benar mencintai dirimu dan orang lain.”
Yang membuat buku ini menonjol adalah pendekatan naratifnya yang tidak menggurui. Haemin menulis dari pengalaman pribadi, sebagai seseorang yang pernah merasa hancur secara emosional, bahkan sebagai biksu.
Ia berbagi kisah kecil, perenungan, dan kutipan-kutipan pendek yang bisa dibaca perlahan setiap hari. Buku ini terasa lebih seperti teman curhat yang mendengarkan, bukan motivator yang mendorong kita ke depan tanpa jeda.
Baca Juga: Denny JA Merekam Luka Sejarah Dalam Tujuh Buku Puisi Esai
Salah satu bagian paling menyentuh ada di bab tentang “Memaafkan Diri Sendiri.” Di sana, Haemin menuliskan bahwa kita sering kali jauh lebih kejam pada diri sendiri ketimbang orang lain.
Ia mengajak kita untuk berbicara kepada diri sendiri seperti kita bicara kepada sahabat yang sedang kesulitan: dengan kelembutan, bukan kritik. Prinsip ini terasa sederhana, namun dalam praktiknya butuh keberanian besar—dan di situlah kekuatan buku ini: menyadarkan, tanpa memaksa.
Love for Imperfect Things sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang sedang merasa lelah dengan ekspektasi dunia: pelajar yang stres, pekerja kantoran yang kehilangan arah, orang tua yang merasa gagal, atau siapa pun yang merasa belum cukup baik.
Baca Juga: Buku "Membela Kebebasan Beragama", Ikhtiar Intelektual untuk Kemanusiaan
Ini adalah buku yang menenangkan, bukan karena memberikan jawaban, tetapi karena menemani proses menemukan kembali cinta kepada diri sendiri.
Namun, bagi sebagian pembaca yang menginginkan solusi langsung atau pendekatan yang lebih praktikal, buku ini mungkin terasa terlalu reflektif.
Tidak ada "10 langkah menuju kebahagiaan" atau tips instan. Tapi justru itulah nilai lebihnya: ia tidak menawarkan ilusi kesempurnaan, tapi mengajak kita hadir utuh—dengan luka, ragu, dan harapan.
Haemin Sunim dalam buku ini seperti mengingatkan: “Kamu tidak harus menjadi versi terbaikmu untuk pantas dicintai. Kamu cukup menjadi dirimu yang sebenarnya.”
Di dunia yang terus mendorong kita menjadi lebih dan lebih, buku ini adalah undangan untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan berbisik: "Aku cukup. Hari ini pun, aku layak dicintai."***