In Memoriam Wina Armada: Hoaks dan Kematian Kebenaran
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 03 Juli 2025 18:38 WIB

Saya sempat meneleponnya. “Apakah Wina sudah bisa ditengok?” Ia menjawab lembut, “Belum, Om. Kata dokter, belum boleh.”
Saya melanjutkan, “Apakah beliau sudah sadar?” Ia menjawab pelan, “Masih belum sadar, Om.”
Kepada Ilham Bintang, saya bertanya lewat pesan teks, “Bro, seberapa parah serangan jantung Wina? Sudah sepuluh hari belum juga boleh dijenguk?” Jawabnya pendek, tapi menusuk, “Agaknya parah.”
Dua hari kemudian, berita duka itu datang. Sunyi. Wina wafat.
-000-
Di tahun 2017, di panggung World Press Freedom Day di Jakarta Convention Center, Wina berdiri bukan untuk merayakan, tapi memperingatkan.
Baca Juga: Lukisan Karya Denny JA dengan Bantuan Artificial Intelligence: Handphone, Kita Dekat Sekali
Dalam diskusi bertajuk “Memerangi Hoaks, Memperkuat Media Siber Nasional,” ia mengucapkan satu kalimat yang tak terlupakan:
“Jika masih ada insan pers menyebarkan atau membuat hoax, sanksi baginya harus diperberat.”
Itu bukan sekadar seruan moral. Itu alarm etik. Di era ketika satu genggaman tangan bisa menyebar kebohongan ke jutaan orang, Wina mengingatkan bahwa pers tidak bisa ikut larut dalam kebisingan tanpa verifikasi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra
Teknologi adalah keniscayaan, kata Wina. Tapi di balik kemudahan itu, lahir pula para “wartawan abal-abal”.