DECEMBER 9, 2022
Kolom

Di Balik Ledakan Perang Israel-Iran

image
Dr. KH Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007 (Foto: ANTARA)

Oleh Amidhan Shaberah*

ORBITINDONESIA.COM - Tanpa babibu, tetiba puluhan pesawat tempur Israel membom Teheran dan fasiltas nuklir Iran, Jumat, 13 Juni 2025 dini hari lalu. Iran pun, dalam hitungan jam langsung membalasnya, dengan meluncurkan ratusan rudal ke Tel Aviv. 

Sejak itu perang pun berkobar. Iran dan Israel saling menyerang dengan meluncurkan rudal dan drone bersenjata ke wilayah sasaran. Kini sudah ribuan rudal dan drone telah diluncurkan Israel dan Iran untuk saling menghancurkan.

Baca Juga: Gencatan Senjata yang Rapuh dan Aneh antara Iran - Israel

Ratusan gedung hancur di Teheran. Hal yang sama terjadi di Tel Aviv. Masing-masing kubu mengklaim kemenangan. Dalam kondisi terdesak, Israel  minta bantuan Amerika Serikat (AS). Washington pun membombardir Iran, menghancurkan fasilitas nuklir di Fordow, Natanz, dan Isfahan, Minggu, 22 Juni 2025. 

Tapi Aneh. Setelah membom Iran, Presiden Donald Trump mengumumkan adanya gencatan senjata antara Israel dan Iran (24 Juni 2025). Lebih aneh lagi, hanya beberapa jam setelah Trump mengumumkan gencatan senjata, Israel kembali menyerang Iran. 

Lalu, siapa yang salah bila perang makin berkobar? Jelas Israel dan Amerika. Yang memulai perang adalah Israel. Kenapa Israel berani memulai perang di tengah kesibukannya menghadapi Hamas di Palestina dan Houthi di Yaman? Karena -- pinjam pakar hukum internasional UI, Prof. Hikmahanto Juwana -- ada AS di belakangnya.

Baca Juga: Komandan Pasukan Quds Iran Muncul di Publik Setelah Laporan Pembunuhannya oleh Israel

Bahkan ketika Israel menyerang Teheran, 13 Juni dini hari, pesawat tempur yang dipakai adalah milik AS yang berada di pangkalan militer Amerika di Qatar. Israel tidak akan berani menyerang Iran tanpa AS, kata Hikmahanto.

Persoalan mendasar dari meletusnya perang Israel-Iran ini sangat klasik. Yaitu: Kenapa Iran dilarang membangun fasilitas nuklir? -- sedangkan Israel dibiarkan membangun fasilitas nuklir sehingga mampu membuat bom atom? 

Jawabnya juga klasik: Iran adalah anggota Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) — Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Sebagai anggota NPT, Iran berkomitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Program nuklirnya untuk kepentingan sipil dan diawasi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). 

Baca Juga: Mengapa Taktik Blitzkrieg Israel Gagal Menghancurkan Iran

Sedangkan Israel tidak menandatangani NPT, sehingga secara hukum internasional tidak terikat pada kewajiban mencegah pengembangan senjata nuklir. 

Pertanyaan dan Jawaban tersebut di atas sangat klasik. Hasilnya tidak menyentuh persoalan mendasar dari penyebab konflik tersebut. Kenapa? Karena  persoalan konflik Israel dan Iran sesungguhnya menyangkut isu geopolitik,  geokultural, dan hubungan internasional yang sangat kompleks.

Di dalamnya termasuk pula isu etnis, agama, dan kultural, yang ditarik sejak 586 tahun sebelum Masehi. Yaitu, saat bangsa Israel terusir dari tanah airnya di Kanaan (Palestina). 

Baca Juga: Mahasiswa Indonesia, Ali Murtado Beri Kesaksian Proses Dievakuasi dari Iran di Tengah Serangan Israel

Di sisi lain, negara-negara Barat yang mendukung Israel, mengaitkan pula isu perang tersebut dengan sejarah masa lalunya. Yaitu ketika bangsa Persia (Iran) konflik dengan Romawi (Barat).

Dalam sejarah, konflik antara Romawi dan Persia berlangsung selama beberapa abad dan terjadi dalam berbagai periode sejarah, terutama antara Kekaisaran Romawi  (Romawi Timur/Bizantium) melawan dua dinasti Persia -- Parthia dan Sassanid -- antara 66 SM -- 224 M. 

Belakangan, sejak masuknya Islam ke Persia, konflik kultural antara Barat (Romawi) versus Iran (Persia) makin rumit dan kompleks. Celakanya, di tengah-tengah konflik itu, muncul pula bangsa Israel (yang terusir dari tanah kelahirannya di Kanaan, Palestina) yang ditempatkan kembali oleh Barat (Inggris)  ke tanah yang "dijanjikan" itu melalui Deklarasi Balfour pada tahun 1917.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

Padahal tanah yang "dijanjikan tersebut" sudah ditempati bangsa Arab berabad-abad lamanya. Atas nama tanah yang dijanjikan itulah berdirilah negara Israel yang didukung Inggris dan Amerika, pemenang perang dunia pertama dan kedua. Selanjutnya Barat pun mendukung eksistensi Israel. Kompleksitas kultural itulah yang kini "menyelimuti" nuansa  perang Israel dan Iran tersebut. 

Dalam konteks inilah, kita bisa memahami negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, yang menganggap bahwa jika Iran (Persia) memiliki senjata nuklir, maka akan sangat berbahaya. Tidak hanya di Timur Tengah. Tapi juga di dunia. Dan yang terpenting, bom nuklir Iran akan melenyapkan Israel, negara yang eksistensinya didukung Barat. Itulah kekhawatiran Barat terhadap fasilitas nuklir di Iran.

Di era modern, Israel adalah sekutu strategis AS  di Timur Tengah. Negara-negara Barat tidak melarang Israel membangun fasilitas nuklirnya karena pertimbangan strategis tadi. Padahal menurut berbagai sumber, Israel kini mempunyai 80–90 hulu ledak nuklir. Tel Aviv tidak pernah membantahnya.

Baca Juga: Serangan AS Disebut CNN Gagal Lucuti Nuklir Iran, Gedung Putih Berang

Di pihak lain, Iran memiliki hubungan yang amat  buruk dengan AS dan negara-negara Barat sejak Revolusi Islam 1979. Ini membuat pengawasan terhadap fasilitas nuklir Iran lebih ketat dan penuh kecurigaan.

Padahal Iran sebagai anggota NPT secara resmi menyangkal ingin membuat bom nuklir. Tapi  program pengayaan uraniumnya yang intensif menimbulkan kekhawatiran Barat. Karena teknologi pengayaan uranium bisa digunakan untuk membuat bom nuklir.

Masalah nuklir inilah pangkal perseteruan antara Iran, Israel, dan Amerika. Iran menganggap Israel hanya boneka Amerika, harus dilenyapkan dari Timur Tengah. Tel Aviv menganggap Iran sebagai monster yang selalu memusuhi Israel tanpa henti. 

Baca Juga: Utusan China Sebut AS Jadi Pihak yang Memulai Krisis Nuklir Iran

Lebih jauh, Amerika menganggap Iran adalah batu  sandungan yang mengganggu hegemoni Barat di Timur Tengah. Pandangan saling curiga dan benci itulah yang kini menyelimuti ketiga negara tersebut.

Seandainya pikiran damai muncul di benak Benjamin Netanyahu, Ali Khamenei, dan Donald Trump -- niscaya kompleksitas geopolitik itu bisa diurai. Bukankah 57 negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Kerjasama Islam) sudah menjamin keamanan dan mengakui Israel jika Tel Aviv mau mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina? 

Jika itu terjadi, yakinlah niat Iran untuk melenyapkan Israel  sirna. Begitu pula Israel -- pikiran yang membuat dirinya selalu terancam akan sirna pula.

Baca Juga: Iran Tangkap Lebih dari 700 Orang Sejak 13 Juni Atas Tuduhan Menjadi Mata-mata Israel

Perang -- seperti kata Presiden Tiongkok  Xi Jinping -- tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menang akan jadi arang. Yang kalah akan jadi abu!

*Dr. KH Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007. ***

Halaman:

Berita Terkait