DECEMBER 9, 2022
Kolom

Sastrawan di Era Simulasi – Simbol Tantangan bagi Manusia

image
Berthold Damshäuser (foto: koleksi pribadi)

Oleh Berthold Damshäuser*

ORBITINDONESIA.COM - Kiranya, di antara penulis sastrawanlah yang nasibnya paling patut kita renungkan di tengah era AI yang saya suka sebut sebagai Era Simulasi.

Kiranya, sastrawan adalah jenis penulis—dan dalam hal ini bahkan mewakili umat manusia—yang menghadapi tantangan paling luar biasa: lahirnya “makhluk” bernama ChatGPT dan sejenisnya, yang merupakan simulasi manusia yang dengan mudah mengungguli manusia berbakat biasa, dan mungkin tak lama lagi juga akan menyaingi manusia paling jenius.

Baca Juga: Berthold Damshäuser: Pilpres 2024, Pandangan Seorang Pengamat dari Jerman

Karena yang disimulasikan itu adalah ranah yang paling “manusiawi”, yaitu bahasa—dan dengan itu, pemikiran serta pencetusan ide—ranah yang selama ini membedakan manusia dari semua makhluk lain di bumi.

AI kini mampu berbicara dan menulis, juga menyusun teks bermutu—teks yang tidak mampu dihasilkan oleh 90 persen, mungkin bahkan 99 persen manusia. Dan perkembangan ini belum selesai. Dapat dibayangkan bahwa kemampuan AI akan lebih mencengangkan lagi jika dikombinasikan dengan generasi baru perangkat keras, khususnya komputer kuantum.

AI juga sudah mampu menciptakan puisi—salah satu bentuk seni paling kompleks—yakni seni bahasa yang menggabungkan nalar (kata, makna, pesan) dengan unsur musikal (irama, bunyi). Kombinasi seperti ini hanya ditemukan dalam susastra khususnya puisi, bukan dalam seni lainnya seperti musik atau seni rupa. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepandaian AI dalam berpuisi lebih mengesankan dibandingkan prestasinya di bidang seni yang lain.

Baca Juga: Displaced Unemployment. Secara massal akan terjadi pengganguran karena profesi lama digantikan artificial intelligence.

Bagi sastrawan, tiba-tiba muncul pesaing yang luar biasa. Sebuah alat yang sanggup menggantikannya. Denny JA dalam esainya "AI Tak Membunuh Penulis, Hanya Mengubahnya" tetap menyampaikan optimisme dan menulis: AI kini bisa menulis novel roman, puisi melankolis. Mesin tak hanya menyalin gaya—ia menebak emosi, meniru struktur narasi, menyusun dialog yang menyentuh. Namun ada satu hal yang tak bisa AI tiru: kehilangan yang nyata. AI bisa merangkai bait. Tapi ia tak pernah kehilangan ibu. Tak pernah menggigil dalam sepi. Tak bisa menangis saat mengetik.

Bagi saya, paparan Denny kurang meyakinkan. Memang, AI tidak pernah menggigil dalam sepi, tidak pernah kehilangan siapa pun. Ia pun tidak berpikir, tidak merasa, tidak memiliki aku. Ia hanya menghitung dan mengombinasikan data yang dimasukkan kepadanya. Ia hanya mensimulasikan segala kekhasan manusia. Namun, kenyataan inilah yang tidak bisa diragukan: hasil kerjanya tak bisa dibedakan lagi dari karya manusia. Dikotomi antara Artificial dan Artistic Intelligence semakin kabur.

Denny pun menyarankan kerja sama sama antara penulis dan AI. Penulis, menurutnya, akan menjadi kurator AI, —“menyaring, mengedit, dan menanamkan jiwa ke dalam teks dingin.”  

Baca Juga: Artificial intelligence menjadi ilmuwan baru. Akan semakin banyak penemuan di bidang matematika, kedokteran dan kosmologi.

Lepas dari kenyataan bahwa kini pun AI sudah sanggup mensimulasikan perasaan jiwa, peran penulis ataupun sastrawan sebagai editor tulisan AI bisa diduga menghadapi kesulitan berat di masa depan. Kini masih cukup banyak penulis yang sanggup mengedit atau memperbaiki “karya“ AI, karena masih terlatih menyusun teks sendiri.

Di masa depan, jumlah penulis yang sanggup mengedit karya AI pasti akan turun drastis, karena manusia yang memang cenderung cari jalan termudah, akan semakin malas menulis sendiri, akan semakin terbiasa menyuruh AI menulis segalanya untuk mereka. Bukankah hal ini sudah mulai, di sekolah, di universitas, bahkan di kalangan sastra?

Dengan tidak lagi melatih diri menyusun teks kompleks dan mendalam, maka kemungkinan besar juga akan berkuranglah lahirnya ide-ide brilian dari manusia—karena banyak ide justru lahir dari pergulatan sunyi dengan bahasa dan kata.

Baca Juga: Eksplorasi galaxy dengan artificial intelligence. Petualangan luar angkasa akan didominasi dengan robot artificial intelligence.

Dalam menulis barulah gagasan memperoleh bentuk sejatinya. Dan hilangnya pergulatan dalam menulis sendiri pasti merupakan persoalan yang lebih serius dibandingkan fakta bahwa, tak lama lagi (atau bahkan sudah sekarang), setiap teks yang dipublikasikan akan dicurigai bukan ditulis oleh manusia yang namanya tertera, melainkan oleh AI. Bahkan penulis yang sama sekali tidak menggunakan AI pun akan tetap berada di bawah bayang-bayang kecurigaan ini.

Apakah saya terlalu pesimistis? Mungkin saja. Namun sejujurnya, saya masih menyimpan harapan bahwa AI takkan sanggup menulis puisi atau karya bahasa yang setara dengan Goethe, Shakespeare, atau Rumi. Sebab jika harapan ini ternyata keliru, maka akan terguncanglah sebuah pandangan yang selama ini dijunjung luas: bahwa karya seni bukan sekadar diciptakan, melainkan diterima—dari kedalaman yang melampaui diri manusia.

Dalam tradisi Yunani kuno, para penyair memohon ilham kepada para Muse. Pada zaman Romantik, sang jenius dipandang sebagai medium bagi yang tak terkatakan. Dalam tradisi religius—seperti terlihat pada Bach atau Dante—seniman kerap memposisikan dirinya sebagai pelayan kehendak Ilahi. Seni dipahami sebagai ekspresi dari realitas yang lebih tinggi, dan seniman dilihat sebagai saluran dari Keillahian atau sesuatu yang transenden.

Baca Juga: Siapakah manusia di era artificial intelligence? Akan terjadi renungan baru. Siapakah manusia, apa lagi perannya?

Sedangkan kini seolah-olah akan terbukti kelak: bahwa sesuatu yang jelas-jelas tidak memiliki kontak dengan Keillahian, ternyata sanggup menghasilkan karya yang agung dan gemilang.

Bukankah kenyataan pahit ini menggoda kita untuk bersikap nihilistik? Akan dan perlukah kita memandang kebangkitan seni AI sebagai lenyapnya benteng terakhir keunikan manusia? Jika yang paling luhur—puisi kita, musik kita—dapat dihasilkan oleh mesin, lalu apa lagi yang membuat kita istimewa? Bukankah seni adalah ruang suci kita? Jika itu pun bisa direkayasa secara algoritmis, bukankah yang hilang bukan hanya makna seni—melainkan juga makna kemanusiaan itu sendiri?

Apakah ini krisis manusia? Dan tidakkah sia-sia juga jika kita mencoba menghibur diri dengan kenyataan bahwa AI hanya mampu melakukan semua itu karena data yang kita sendiri berikan—yakni warisan intelektual dan artistik kolektif umat manusia? Bahwa tanpa kita, ia bukan apa-apa?

Baca Juga: Merayakan Hari Lahir Pancasila di Era Artificial Intelligence

Andai ini memang sebuah krisis, barangkali di dalamnya juga tersembunyi sebuah peluang. Mungkin justru tantangan dari mesinlah yang memaksa kita untuk meninjau ulang hubungan kita dengan seni—juga dengan Kemanusiaan dan Keillahian.

Jika yang terpenting bukan lagi siapa atau apa yang mencipta—manusia atau mesin—melainkan apa yang dihadirkan sebuah karya dalam batin kita, maka pengalamanlah yang menjadi pusat segalanya: keguncangan, kekaguman, pemahaman yang hening.

Dan mungkin, justru pengalaman semacam itulah yang kita sebut sebagai “yang Ilahi”—yang sanggup membawa kita melampaui diri kita sendiri, menuju dimensi tempat keakuan luluh dalam sesuatu yang lebih besar.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Artificial Intelligence tak Membunuh Penulis, tapi Mengubahnya

Bonn, Juni 2025

*Berthold Damshäuser, akrab dipanggil “Pak Trum“, lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Dari tahun 1986 s/d tahun 2023 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Koeditor Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003. Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Pada tahun 2014 dan 2015 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Penulis esai dalam bahasa Indonesia yang terbit di Majalah Tempo, Jurnal Sajak, dan media lain. Bunga rampai tulisannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam buku Ini dan Itu Indonesia - Pandangan Seorang Jerman. Salah satu buku terbarunya berjudul “Mythos Pancasila“ dan terbit di Jerman pada tahun 2021. Anggota Satupena sejak tahun 2023, tinggal di Bonn/Jerman. Website: https://www.ioa.uni-bonn.de/soa/de/pers/personenseiten/berthold-damshaeuser/berthold-damshaeuser. ***

Halaman:

Berita Terkait