Sastrawan di Era Simulasi – Simbol Tantangan bagi Manusia
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 06 Juni 2025 07:43 WIB

Di masa depan, jumlah penulis yang sanggup mengedit karya AI pasti akan turun drastis, karena manusia yang memang cenderung cari jalan termudah, akan semakin malas menulis sendiri, akan semakin terbiasa menyuruh AI menulis segalanya untuk mereka. Bukankah hal ini sudah mulai, di sekolah, di universitas, bahkan di kalangan sastra?
Dengan tidak lagi melatih diri menyusun teks kompleks dan mendalam, maka kemungkinan besar juga akan berkuranglah lahirnya ide-ide brilian dari manusia—karena banyak ide justru lahir dari pergulatan sunyi dengan bahasa dan kata.
Dalam menulis barulah gagasan memperoleh bentuk sejatinya. Dan hilangnya pergulatan dalam menulis sendiri pasti merupakan persoalan yang lebih serius dibandingkan fakta bahwa, tak lama lagi (atau bahkan sudah sekarang), setiap teks yang dipublikasikan akan dicurigai bukan ditulis oleh manusia yang namanya tertera, melainkan oleh AI. Bahkan penulis yang sama sekali tidak menggunakan AI pun akan tetap berada di bawah bayang-bayang kecurigaan ini.
Baca Juga: Berthold Damshäuser: Pilpres 2024, Pandangan Seorang Pengamat dari Jerman
Apakah saya terlalu pesimistis? Mungkin saja. Namun sejujurnya, saya masih menyimpan harapan bahwa AI takkan sanggup menulis puisi atau karya bahasa yang setara dengan Goethe, Shakespeare, atau Rumi. Sebab jika harapan ini ternyata keliru, maka akan terguncanglah sebuah pandangan yang selama ini dijunjung luas: bahwa karya seni bukan sekadar diciptakan, melainkan diterima—dari kedalaman yang melampaui diri manusia.
Dalam tradisi Yunani kuno, para penyair memohon ilham kepada para Muse. Pada zaman Romantik, sang jenius dipandang sebagai medium bagi yang tak terkatakan. Dalam tradisi religius—seperti terlihat pada Bach atau Dante—seniman kerap memposisikan dirinya sebagai pelayan kehendak Ilahi. Seni dipahami sebagai ekspresi dari realitas yang lebih tinggi, dan seniman dilihat sebagai saluran dari Keillahian atau sesuatu yang transenden.
Sedangkan kini seolah-olah akan terbukti kelak: bahwa sesuatu yang jelas-jelas tidak memiliki kontak dengan Keillahian, ternyata sanggup menghasilkan karya yang agung dan gemilang.
Bukankah kenyataan pahit ini menggoda kita untuk bersikap nihilistik? Akan dan perlukah kita memandang kebangkitan seni AI sebagai lenyapnya benteng terakhir keunikan manusia? Jika yang paling luhur—puisi kita, musik kita—dapat dihasilkan oleh mesin, lalu apa lagi yang membuat kita istimewa? Bukankah seni adalah ruang suci kita? Jika itu pun bisa direkayasa secara algoritmis, bukankah yang hilang bukan hanya makna seni—melainkan juga makna kemanusiaan itu sendiri?
Apakah ini krisis manusia? Dan tidakkah sia-sia juga jika kita mencoba menghibur diri dengan kenyataan bahwa AI hanya mampu melakukan semua itu karena data yang kita sendiri berikan—yakni warisan intelektual dan artistik kolektif umat manusia? Bahwa tanpa kita, ia bukan apa-apa?
Andai ini memang sebuah krisis, barangkali di dalamnya juga tersembunyi sebuah peluang. Mungkin justru tantangan dari mesinlah yang memaksa kita untuk meninjau ulang hubungan kita dengan seni—juga dengan Kemanusiaan dan Keillahian.
Jika yang terpenting bukan lagi siapa atau apa yang mencipta—manusia atau mesin—melainkan apa yang dihadirkan sebuah karya dalam batin kita, maka pengalamanlah yang menjadi pusat segalanya: keguncangan, kekaguman, pemahaman yang hening.