Lengkap, Begini Prosesi Tradisi Rebo Wekasan yang Masih Dilestarikan Masyarakat di Indonesia
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 20 September 2022 14:57 WIB
ORBITINDONESIA - Tradisi Rebo Wekasan menjadi salah satu tradisi yang digelar sekali dalam setahun oleh masyarakat di sejumlah tempat.
Pada umumnya, tradisi Rebo Wekasan masih mudah dijumpai di masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura.
Tradisi Rebo Wekasan juga sudah ada sejak ratusan tahun silam dan masih dipertahankan dengan baik seperti aslinya oleh masyarakat.
Baca Juga: Simak Sejarah Munculnya Tradisi Rebo Wekasan dari Berbagai Versi
Tradisi ini juga merupakan tradisi besar karena melibatkan banyak rangkaian prosesi, petugas, dan juga biaya untuk pelaksanaanya.
Berikut adalah gambaran prosesi tradisi Rebo Wekasan yang masih dijalankan oleh sebagian masyarakat:
Sebelum proses adat ini dilakukan biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan.
Baca Juga: Simak Sejarah Munculnya Tradisi Rebo Wekasan dari Berbagai Versi
Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo.
Setelah doa bersama Lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 cm dan Gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo.
Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa jawa), bregodo Sembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul bregodo Gamelan dan bregodo Mburi.
Baca Juga: Media Vietnam Kritik Aksi Suporter Indonesia di Stadion GBT
Bregodo Sembrani berjumlah sekitar 28 orang. Bregodo Mburi berjumlah 40 orang dan dipimpin oleh kapten bregodo.
Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20 orang, bregodo Gamelan berjumlah 10 orang yang terdiri dari satu peniup terompet, dua peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur dan 2 penabuh Jedog, sedangkan bregodo Umbul-umbul berjumlah 10 orang.
Komando pusat dipegang oleh seorang Panji atau panglima perang.
Panji yang tersebut bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala Desa Wonokromo dengan aman.
Baca Juga: Mari Kenali Bahasa Indonesia Sebagai Budaya Nasional
Adapun rute arak-arakan tersebut melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak sekitar 2 kilometer.
Selama prosesi lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, setelah itu lemper diturunkan di kantor balai desa.
Di lokasi sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa tersebut.
Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke atas pendhopo balai desa.
Baca Juga: Mobil Ambulance Bawa Jenazah Alami Tabrak Bus Sugeng Rahayu di Madiun, Begini Kondisinya
Dihadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut.
Setelah lemper Agung dan Gunungan tersebut naik diatas pedhopo, diadakan upacara pemotongan lemper.
Diawali dengan sambutan Kepala Desa Wonokromo, pemaknaan dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama dan dilanjutkan pagas lemper atau pemotongan lemper oleh Bupati Bantul, Camat Kecamatan Pleret dan Kepala Desa Wonokromo.
Baca Juga: Wow, Denda Pelanggaran Lalu Lintas Terekam ETLE di Jawa Tengah Tembus Puluhan Miliar Rupiah
Setelah diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang merupakan puncak dari acara tersebut, lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutupi kekurangan.
Demikian pula Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu.
Setelah itu Upacara Rebo Wekasan selesai, hanya saja untuk stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan sebagainya itu tetap masih ada kira-kira seminggu lamanya.
Acara arak-arakan ini berlangsung sekitar empat jam, dimulai pukul 19.00 WIB - 22.000 WIB.
Baca Juga: Satrio Arismunandar: Perlu Berdayakan Budaya Malu dan Kebersalahan untuk Atasi Korupsi
Makna yang terkandung tradisi ini adalah Tolak Balak dan Ngalap Berkah.
Tolak Balak adalah upaya untuk menghindari berbagai malapetaka yang mungkin muncul.
Rabu Wekasan dalam sejarah Islam oleh orang-orang Jahiliyyah sering disebut sebagai bulan sial sehingga tradisi ini juga dimaksudkan sebagai ruang doa bersama dalam menghindari berbagai malapetaka.
Sedangkan konsep Ngalap Berkah ada karena bentuk kehormatan kepada sosok ulama yang menjadi cikal bakal tradisi ini.
Baca Juga: Baru, TikTok Resmi Merilis Fitur TikTok Now di Indonesia yang Bisa Rekam Cuma 10 Detik
Keterkaitan Kyai Welit sebagai tokoh sentral dalam sejarah Rabu Pungkasan dianggap memiliki kemampuan linuwih yang juga memiliki kharisma dan sosok ulama besar.
Masyarakat Wonokromo yang sebagian besar warganya adalah kalangan santri sangat terikat oleh konsep Ngalap Berkah ini.
Bentuk penghormatan kepada ulama akan menjadi jalan keberkahan di dalam hidup orang.
Baca Juga: Bela Isi Ceramah Islah Bahrawi, Menko Mahfud MD: Dimana Islamphobianya?
Upacara Rebo Wekasan juga menjadi ruang silaturahmi antara ulama dengan desa.
Ketentraman kehidupan bermasyarakat akan terjaga mana kala bisa menjaga keutuhan kehidupan beragama.***