DECEMBER 9, 2022
Kolom

Suroto: Demokratisasi Ekonomi, Agenda yang Terlupa dari Reformasi

image
Ilustrasi petani dan aktivitas ekonomi (Foto: ANTARA)

Oleh Suroto* 

ORBITINDONESIA.COM - Salah satu hasil Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang digelar atas tuntutan reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa adalah TAP MPR/ XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokratisasi Ekonomi. Namun ternyata, setelah 27 tahun lamanya, agenda demokratisasi ekonomi ini tidak pernah dilaksanakan. Apa yang terjadi justru sebaliknya, sistem ekonomi semakin konsentratif dan monopolistik.

Disebut dalam konsideran TAP MPR tersebut bahwa prinsip prinsip dasar demokrasi ekonomi, sesuai Pasal 33 UUD 1945 belum dilaksanakan. Alasan lain, penumpukkan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan tidak boleh terjadi dan harus ditiadakan. 

Baca Juga: Saepudin Muhtar: Ekonomi Kerakyatan Kunci Atasi Deindustrialisasi yang Terjadi Saat Ini

Era reformasi berjalan seperti tanpa tujuan. Struktur sosial ekonomi saat ini ternyata tidak pernah berubah. Rakyat banyak tetap hidup dalam sistem ekonomi mikro pertanian dan perdagangan kelas gurem, lemah dan serabutan. Sementara, segelintir elite kaya terus kuasai industri, perdagangan dan perkebunan kelas menengah ke atas. 

Menurut klasmopologi pelaku usaha dari Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah /UMKM (2024), pelaku ekonomi kita ternyata 99,6 persen atau kurang lebih 64 juta hidupnya bergantung dari usaha skala mikro kelas gurem dan usaha kecil. Usaha kecilnya 138,000 atau 0,35 persen. Sementara usaha menengah adalah sebesar 80.245 atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen dari total pelaku usaha kita. 

Kontribusi ekonomi dari 99,9 persen pelaku usaha mikro dan kecil hanya kuasai kue ekonomi kurang lebih 18 persen. Sisanya 82 persen dikuasai usaha besar dan usaha menengah yang juga merupakan kepanjangan dari usaha usaha besar (Suroto, dalam Prisma, 2023). 

Baca Juga: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi Akan Minta Pakar Evaluasi Kegiatan Ekonomi di Pegunungan

Gambaran pelaksanaan demokrasi ekonomi sesuai dengan Konstitusi ekonomi semakin jauh dari cita cita Konstitusi dan reformasi. Konsentrasi kekayaan dan pendapatan semakin menumpuk pada segelintir orang. Menurut laporan lembaga Oxfam (2023), kekayaan dari 4 keluarga konglomerat itu sama dengan 100 juta rakyat Indonesia yang termiskin.

Rakyat banyak menjadi miskin secara struktural. Sehingga tak mampu hasilkan tabungan dan berarti tidak memiliki kemampuan investasi. Pada akhirnya, rakyat  banyak tidak memiliki peluang dan instrumen untuk mengkreasi kekayaan, sehingga mereka terus mewariskan kemiskinan.

Pasal 33 UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi ekonomi menjadi kehilangan maknanya. Demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi kita yang memungkinkan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi aktif dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi menjadi terabaikan. Makna gotong royong dan cita cita negara menuju masyarakat adil dan makmur menjadi tersiakan. 

Baca Juga: Menteri ESDM Bahlil Lahadalia: Mudik Lebaran 2025 Dorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Demokrasi Politik Minus Demokrasi Ekonomi

Halaman:

Berita Terkait