Tarif AS-China Turun Tajam, Apa Artinya untuk Ekonomi Dunia?
- Penulis : M. Ulil Albab
- Selasa, 13 Mei 2025 06:34 WIB

Dengan adanya kesepakatan antara AS-China hasil dari negosiasi di Jenewa, media Asia Times berpendapat bahwa hasil perundingan itu menunjukkan tidak hanya langkah "kebisingan" sementara, tetapi akan berdampak kepada pergeseran posisi berbagai kebijakan ekonomi di negara-negara Asia, termasuk ASEAN.
Kurangi tekanan inflasi
Penurunan tarif yang lebih rendah dinilai akan mengurangi tekanan inflasi hasil barang impor sehingga membuat berbagai bank sentral di Asia akan memiliki lebih banyak ruang bernafas dalam mengeluarkan manuver kebijakan yang tepat guna untuk masing-masing negara.
Baca Juga: Pascatarif, Apakah Trump Versus Powell Akan Jadi Guncangan Global Berikutnya?
Asia Times menyatakan bahwa pengurangan tarif akan membuat negara-negara seperti India, Filipina, dan Indonesia sekarang memiliki sedikit lebih banyak fleksibilitas untuk memprioritaskan penguatan kondisi domestik daripada pertahanan terhadap faktor risiko eksternal.
Apalagi, diakui atau tidak, perang tarif Trump selama beberapa bulan terakhir telah meningkatkan volatilitas ekonomi global, dan pasti akan berdampak kepada negara-negara Asia yang memiliki sistem produksi yang kompleks dan memiliki tingkat saling ketergantungan tinggi.
Misalnya saja, produsen cip di Taiwan, manufaktur elektronik di Korea Selatan, serta perusahaan mesin di Jepang, yang semuanya berada dalam rantai pasokan dengan banyak lapisan, sehingga penambahan tarif juga tidak hanya menambah biaya tetapi dapat melumpuhkan operasional dari setiap perusahaan tersebut.
Baca Juga: Korea Selatan dan AS Akan Gelar Negosiasi Tingkat Tinggi di Washington tentang Tarif Impor
Untuk itu, periode pengurangan tarif AS-China dalam jangka waktu 90 hari harus benar-benar dijadikan dasar pertimbangan yang mendalam guna membuat keputusan baru yang tepat antara lain dalam hal produksi hingga pengiriman produk yang telah dimanufaktur.
Hal tersebut penting untuk dipikirkan secara masak-masak karena hasil perundingan di Jenewa masih belum ada pemaparannya secara terperinci serta tidak ada mekanisme penegakan hasil perundingan secara memaksa.
Apalagi, meminjam istilah mantan Menlu RI Hassan Wirajuda dalam acara diskusi baru-baru ini, Donald Trump dapat disebut sebagai "presiden teflon" karena ucapannya yang biasa menghindari tanggung jawab serta kerap tidak bisa dipegang teguh.
Namun setidaknya, hasil perundingan akhir pekan lalu di Swiss, antara dua raksasa ekonomi dunia itu telah menyingkap masih adanya "kewarasan", yang semoga tidak bersifat sementara, dalam hal mewujudkan terciptanya perdagangan tanpa hambatan yang diharapkan akan berjalan secara jauh lebih adil secara global ke depannya.