DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tarif AS-China Turun Tajam, Apa Artinya untuk Ekonomi Dunia?

image
Ilustrasi - Perang dagang Amerika Serikat dan China. (ANTARA/Shutterstock/aa.) (ANTARA/Shutterstock/aa)

Pernyataan itu tentu melegakan, terlebih mengingat bahwa sebelum hasil perjanjian itu diumumkan, kedua belah pihak telah mengeluarkan retorika masing-masing.

Misalnya, Wakil Menteri Luar Negeri China Miao Miao Deyu dalam jumpa pers yang dikutip Global Times menyatakan bahwa AS menggunakan tarif sebagai "senjata untuk memberikan tekanan maksimum demi kepentingan sendiri, yang mencerminkan sikap unilateral, proteksionis, dan tindakan intimidasi ekonomi".

Pendekatan tersebut dinilai China sudah mengorbankan kepentingan sah di negara-negara lain di seluruh dunia untuk memenuhi ambisi hegemoni AS. Namun, dengan adanya hasil perundingan yang bersifat sementara itu, maka tampaknya akan meredakan rasa permusuhan perdagangan antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu.

Baca Juga: Pascatarif, Apakah Trump Versus Powell Akan Jadi Guncangan Global Berikutnya?

Pasar saham positif

Tentu saja, berita tentang penurunan signifikan tarif antara AS-China itu ditanggapi pula secara positif oleh pasar keuangan internasional, di mana berbagai pasar saham global meningkat.

Langkah positif di sektor pasar finansial itu terjadi antara lain karena hasil perundingan itu dinilai sebagai sesuatu kejutan positif yang dapat meredakan kecemasan stagnasi ekonomi serta akan menjadi pijakan untuk normalisasi perdagangan yang lebih luas.

Baca Juga: Korea Selatan dan AS Akan Gelar Negosiasi Tingkat Tinggi di Washington tentang Tarif Impor

Normalisasi itu penting karena banyak pengusaha seperti Tat Kei, yang akibat kebijakan tarif Trump, membuat banyak pesanan pabriknya yang ditujukan ke AS dibatalkan karena kenaikan tarif gila-gilaan, bahkan dia juga masih berupaya memindahkan sebagian produksinya ke kawasan Asia Tenggara.

Alasan banyak produsen China yang memindahkan lini produksinya ke Asia Tenggara antara lain karena biaya tenaga kerja yang meningkat di China dibandingkan negara-negara ASEAN, dan penerapan strategi "China+1" (mempertahankan beberapa operasional di China sambil memindahkan sebagian rantai pasokan ke tempat lain).

Di lain pihak, pemerintah negara-negara di Asia Tenggara juga selama ini kerap mempromosikan peningkatan penanaman modal asing langsung via kebijakan keringanan pajak, zona ekonomi khusus, dan investasi infrastruktur untuk menarik para produsen.

Baca Juga: Ketum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie Ajak Asosiasi Perkuat Usaha Logistik Hadapi Tarif Resiprokal Trump

Meski langkah pemindahan lini produksi itu dapat memengaruhi ekonomi ASEAN secara positif seperti penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan ekspor, tetapi hal itu juga memicu tantangan seperti masalah lingkungan, ketimpangan pendapatan, hingga risiko ketergantungan pada modal negara lain.

Halaman:

Berita Terkait