DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tenget dan Surat Edaran Gubernur Bali 07/2025: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

image
Ilustrasi - Pura Besakih di Rendang, Karangasem,14 April 2019. (ANTARA)

Dengan SE ini, kita berharap jangan lagi ada yang paradoks menukar kesakralan dengan uang, dengan selembar selendang yang melilit di badan. Harus tegas dan lugas.

Tak hanya pura, tempat-tempat lain di Bali menyimpan sakralitas. Pohon-pohon dijaga, laut dihormati, sungai dikeramatkan.

Menodai tempat-tempat itu bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang sikap. Apalagi menaiki bangunan suci, berfoto tanpa sopan, berkata kasar, bertindak tidak hormat—semua itu menodai kesucian.

Baca Juga: I Wayan Suyadnya: Di Masa Mendatang, Perlu Satupena Awards untuk Penulis di Tingkat Daerah

Kita berharap ke depan tak boleh ada lagi hal-hal seperti itu. Kita semua harus menjaganya. Kita semua harus berani melarangnya.

Dunia modern dengan kebebasannya sering kali berbenturan dengan aturan tak kasat mata yang sejak dulu kala telah menjaga keseimbangan. Kita pun tak boleh kalah dengan modernitas yang mengacaukan harmoni.

Wisatawan jauh-jauh datang ingin menikmati harmoni itu, jangan justru kita yang membiarkan mereka mengacaukannya.

Baca Juga: Wayan Koster Bertemu Elite Gerindra Bali Made Muliawan Arya, Membahas Dukungan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi

Begitu pula dengan plastik sekali pakai. Sejak 2018, Bali sudah berusaha mengurangi timbulan sampah plastik dengan Peraturan Gubernur No. 97. Tapi tujuh tahun berlalu, plastik masih merajalela.

Paradoksnya, kita yang ingin menjaga alam, kita pula yang tetap memakai plastik.

Jika memang harus tegas, maka harus ada aturan yang lebih mengikat, yang tak hanya mengimbau, tetapi benar-benar memberi sanksi.

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Jika tumbler adalah solusi, maka galon isi ulang harus tersedia di mana-mana.  Sebuah solusi jitu yang tak boleh hanya menjadi wacana, bahkan peluang bisnis yang sangat besar.

Halaman:

Berita Terkait