Puisi Esai Denny JA: Buah Beracun Revolusi
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 12 Februari 2025 08:00 WIB
![image](https://img.orbitindonesia.com/2025/02/12/20250212080627b3fa1272-f047-4755-8b0f-fb06f3173eed.jpeg)
Puisi esai seri "Yang Menggigil di Arus Sejarah" (4)
ORBITIDONESIA.COM - 1917-1922, setelah Revolusi Rusia berkibar dan menang, yang datang selanjutnya: 5 juta kematian karena kelaparan dan pembunuhan.
-000-
Revolusi mengetuk pintu hati, menjanjikan fajar baru.
Aku membukanya dengan harap.
Namun yang masuk: serigala lapar.
Aku saksi bisu di altar harapan.
Bukan untuk merayakan kemenangan.
Tapi untuk meratapi cahaya,
yang padam sebelum sempat menjadi bintang.
Aku teringat masa lalu.
Salju menyelimuti tanah yang retak,
petani menunduk, mencium bau tanah tanpa harapan.
Di Istana Musim Dingin,
Raja mengangkat gelas kristalnya tinggi-tinggi,
merah anggurnya, semerah luka kami para petani, buruh, rakyat jelata, kaum terpelajar.
Di jalan-jalan Petrograd,
poster-poster revolusi berkibar.
“Roti bagi yang lapar!”
“Tanah bagi petani!”
“Kebebasan bagi buruh!”
Di bawah lampu jalan yang meredup,
tentara istana melepas senapan.
Mereka bukan lagi penjaga raja.
Mereka berbalik badan,
menjadi obor yang membakar singgasana.
Gerbang istana runtuh dengan jeritan baja.
Patung raja dihancurkan,
dilempar ke sungai yang mengeras seperti batu nisan.
Seorang ibu mencium kening anaknya, berbisik:
“Esok milik kita.”
-000-
Tapi,
setelah kemenangan revolusi,
melati berubah menjadi kawat berduri.
Kami hancurkan istana dengan pekik kebebasan.
Tapi di atas reruntuhan,
hanya tumbuh ilalang ketakutan.
Roti tetap ilusi yang tak bisa disentuh.
Antrean semakin panjang,
tulang-tulang semakin menonjol di pipi yang cekung.
Wabah kelaparan menjalar seperti virus penyakit menular.
Raja telah mati,
tapi matanya kini menyala
di poster-poster baru,
di wajah pemimpin baru,
di tembok-tembok yang kami bangun dengan darah sendiri.
Lenin mengawasi dengan diam.
Di kursinya yang dingin,
tetap menebar mimpi,
yang semakin menyala.
Tapi tangannya kini juga memegang cambuk.
Dan pistol.
Pemimpin revolusi,
yang dulu kami dewakan,
mengapa menjadi Raja Baru,
lebih cerdas,
tapi juga lebih kejam?
-000-
Malam tak lagi sunyi.
Sepatu lars berbaris di sudut-sudut jalan,
bukan untuk melindungi,
tapi untuk mengintai.
Aku menggigil.
Revolusi yang dulu kupuja,
kuberi darahku,
kuberi nyawaku,
berubah wajah.
Seorang ibu menatap patung Lenin dari jendela pecah,
berbisik pada dirinya sendiri:
“Dulu, aku serahkan darah untuk perubahan.”
“Kini, aku hanya punya air mata untuk bertahan.”
Di malam berbau bangkai, aku bertanya: Apa salah revolusi?
Dari langit, ribuan nyawa menjawab:
Revolusi ini seragamkan pikiran dengan senjata.
Kebebasan hanya bayangan di ujung laras.
Revolusi ini telah mati,
dan aku penggeraknya,
justru dikubur bersamanya.***
Singapura, 12 Februari 2025
(1) Puisi esai ini adalah dramatisasi Tragedi Revolusi Rusia 1917-1922 yang menyebabkan kematian 5 juta penduduk karena dibunuh dan kelaparan.
https://www.rferl.org/amp/russia-1922-tumultuous-events-anniversaries-putin/31636196.html