Menguatnya Rupiah di Google dan Ilusi Digital yang Menyesatkan
- Penulis : M. Ulil Albab
- Minggu, 02 Februari 2025 09:11 WIB
Beberapa platform mungkin memperbarui data lebih cepat daripada yang lain, sehingga ada kemungkinan Google menampilkan kurs yang sudah usang atau belum terverifikasi dengan informasi terbaru dari bank sentral atau institusi keuangan utama.
Di sisi lain, Dr. Pratama Persadha membuka kemungkinan yang lebih serius namun jarang terjadi yakni terkait adanya manipulasi atau penyalahgunaan sistem akibat peretasan.
Meskipun sistem keamanan Google sangat canggih, bukan tidak mungkin terjadi upaya peretasan atau penyusupan oleh aktor jahat yang berusaha mengacaukan informasi finansial.
Bahkan dalam skenario ekstrem, manipulasi data kurs ini bisa digunakan sebagai bagian dari strategi spekulasi atau disinformasi untuk mengacaukan pasar.
Baca Juga: Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra: Rupiah Berpeluang Melemah Dipengaruhi Konflik di Timur Tengah
Maka untuk memastikan informasi nilai tukar yang benar, disarankan agar pengguna tidak hanya mengandalkan Google sebagai satu-satunya referensi. Karena nyatanya insiden serupa pernah terjadi sebelumnya.
Terjadi di Malaysia
Pada Februari 2024, ada insiden di Malaysia di mana Google menampilkan nilai tukar ringgit terhadap dolar AS yang tidak akurat. Bank Negara Malaysia (BNM) mencatat pada Jumat, 15 Februari 2024, Google menunjukkan nilai tukar 1 dolar AS setara dengan 4,98 ringgit, sementara data resmi menunjukkan level terendah ringgit adalah 4,7075 per dolar.
Baca Juga: Google Perkenalkan NotebookLM Berbasis AI dengan Peningkatan Fitur dan Perluasan Penggunaan
BNM pun berkeras bahwa penilaian tersebut tidak mencerminkan fundamental ekonomi Malaysia yang sebenarnya positif. Kejadian serupa pernah terjadi pada 6 Februari 2024.
BNM kemudian meminta penjelasan dari Google mengenai penyebab kesalahan tersebut dan langkah korektif yang harus diambil untuk mencegah terulangnya masalah serupa di masa depan.
Sebagai respons, Google Malaysia menyampaikan permintaan maaf kepada pemerintah Malaysia atas kesalahan tersebut. Mereka menjelaskan bahwa kesalahan itu terjadi karena data yang ditampilkan tidak diverifikasi secara memadai, dan berkomitmen untuk meningkatkan akurasi informasi yang disajikan di platform mereka.
Insiden ini menyoroti pentingnya verifikasi data dan keandalan sumber informasi, terutama yang berkaitan dengan data finansial yang sensitif.