Menundukkan Oligarki, Membangun Wibawa Kesetaraan Hukum
- Penulis : M. Ulil Albab
- Kamis, 23 Januari 2025 19:00 WIB
Dalam konteks itulah, prinsip "kesamaan di depan hukum" harus di tegakkan (equality before the law). Tak boleh ada segelintir manusia yang terpinggirkan atau yang terlupakan. Semua penduduk Indonesia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Seperti yang menjadi tujuan negara hukum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat (terakhir) dinyatakan: "...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .."
Dengan demikian, pagar laut di perairan Tangerang adalah refleksi tindakan semena-mena dan sewenang-wenang yang melanggar hak kedaulatan rakyat, HAM, dan hak fundamental rakyat (konstitusi). Tentu saja aparat penegak hukum harus menegakkan hukum secara lugas, tanpa diskriminasi sehingga kewibawaan kesetaraan hukum dapat terwujud tanpa melihatnya dari strata sosial sebagai konglomerat (oligarki).
Bagaimanapun, pembangunan yang mengatasnamakan proyek PSN PIK-2 telah merugikan nelayan sekitarnya untuk hidup mencari nafkah. Walaupun, habitat masyarakat ini sudah hidup turun temurun, tetapi kini terusik dengan adanya pihak yang mengkapling-kapling laut dan membuatkan sertifikat di atasnya. Akibatnya, masyarakat selaku penduduk sah justru terlupakan dan terpinggirkan.
Baca Juga: GMNI Tangerang Minta Pemerintah Bongkar Pagar Bambu di Parairan Laut
Karena itulah, modus oligarki proyek negara dalam negara PIK 2 makin terungkap banyak rekayasa dan manipulasi di dalamnya. Maka, sudah tepatlah jika Presiden RI perintahkan usut tuntas keberadaan pagar laut yang sudah seperti negara dalam negara. Fakta ini juga makin menunjukkan bahwa proyek strategis nasional hanyalah "topeng" untuk melancarkan proyek-proyek "mercusuar" selanjutnya.
Berbagai ketegangan bangsa tak akan selesai (tuntas) jika rule of law tidak dilaksanakan, dan kewibawaan kesetaraan hukum juga tidak terwujud. Sebab, rakyat pemilik republik ini merasa diperlakukan tidak adil merasa terpinggirkan ketika hukum hanya berpihak pada yang kuat.
Menerangi Hati Rakyat
Baca Juga: Pj Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin Minta Ada Evaluasi tentang Pagar Laut Bekasi
Untuk menerangi hati rakyat, sepatutnya pemimpin bicara dengan bahasa hati, memberikan perlindungan/pengayoman yang jelas kepada rakyat. Rakyat tidak dibiarkan kebingungan, sehingga segala hal Ikhwal yang menjadi polemik masalah ada solusinya (proporsional). Mengapa harus ada pagar laut, siapa yang menyuruh (bertanggung jawab), mengapa laut ada pemiliknya (SHGB - SHM) sehingga semua jadi clear (jelas). Begitu pula pada institusi yang mengeluarkan izin atau sertifikat, semua dengan pola saling lempar tanggung jawab (kontroversial).
Bukankah pintu transparansi atau keterbukaan harus dibuka lebar-lebar, agar supaya kejujuran bisa bersemayam dalam hati nurani. Dengarkanlah bisikan rakyat yang polos karena di sanalah suara kebenaran sesungguhnya. Bukan hanya sebatas mendengar kemauan pemilik kekuatan finansial yang bisa "menghalalkan segala cara" sehingga berimplikasi kepada penyalahgunaan mekanisme dan prosedur yang ada.
Keseluruhan masalah dan isu yang ada, terkait pagar laut dan kepemilikan sertifikat illegal akan menjadi pengingat bahwa betapa pentingnya birokrasi yang bersih (Good and Clear), penegakan hukum yang kuat, serta aparatur yang berintegritas. Sehingga ke depan kita tak menemukan ada sistem yang berada dalam wilayah "abu-abu" atau aparat yang "gagap" dalam menjalankan kebijakan yang benar.
Baca Juga: TNI AL Bongkar Pagar Laut di Tangerang, Laksamana Pertama I Made Wira Hady: Selesai Dalam 10 Hari
Kini, saatnya presiden di 100 hari kepemimpinannya memberikan keteladanan untuk menerangi hati rakyat dengan memberikan hak-hak dasar yang dijamin konstitusi dan kembali meneguhkan hati melawan mafia dan oligarki.