DECEMBER 9, 2022
Kolom

Menundukkan Oligarki, Membangun Wibawa Kesetaraan Hukum

image
Abustan, pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta.

Oleh Abustan*

ORBITINDONESIA.COM - Di tengah gemuruh kebangkitan nelayan, kebersamaan para angkatan negara, pemerintah, LSM, dan seluruh elemen masyarakat yang berempati terhadap kerusakan alam yang diakibatkan pemagaran laut atau yang populer di istilahkan "misteri pemagaran laut". Kini bersatu dan bergotong royong membersihkan pagar penghalang sepanjang sekitar 30,6 KM.

Itulah realitas akhir-akhir ini, yaitu nestapa nelayan yang terkurung pagar laut. Mereka harus berhenti menjalankan aktivitas sehari-hari mencari nafkah demi kelangsungan hidup bersama keluarga. Pemandangan ini, tak dapat diingkari nelayan di pesisir Tangerang kian hidup merana. Kebebasan mereka untuk menjalankan pekerjaannya yaitu menjala ikan terganggu oleh pembangunan pagar dan tanggul laut.

Baca Juga: GMNI Tangerang Minta Pemerintah Bongkar Pagar Bambu di Parairan Laut

Perasaan makin miris dan sensitivitas kita sebagai anak bangsa kian terguncang, ketika hasil penelusuran mengetahui. Ternyata laut tidak hanya dipagari tetapi juga sudah dimiliki. Terbukti muncul surat HGB sekitar 276 pemilik. Maka, kenyataan yang "menabrak" hukum, HAM, dan ketegangan horizontal di masyarakat terus memicu reaksi keras.

Pertanyaannya, mengapa ada modus proyek yang mengatasnamakan negara tetapi justru merugikan rakyat? Mengapa pembangunan yang diangan-angankan untuk mendatangkan kesejahteraan rakyat tetapi malah kezaliman yang dihadirkan?

Mereka yang Terpinggirkan

Baca Juga: Pj Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin Minta Ada Evaluasi tentang Pagar Laut Bekasi

Sejatinya, kita mengetahui bahwa UU dalam perkembangan kehidupan kemasyarakatan, hukum selalu diperlukan untuk mengatur wewenang, serta pelaksanaannya, maupun untuk mengayomi warga masyarakat. Tanpa hukum, penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan tidak akan berjalan tertib dan teratur karena perilaku penyelenggara negara dan masyarakat tidak ada yang mengendalikan. 

Perilaku tanpa kendali tersebut, mengakibatkan manusia yang satu akan menjadi serigala bagi yang lain, seperti yang diungkapkan Thomas Hobbes (1651): Bahwa dalam masyarakat yang serba kuasa, tidak berlaku aturan main, yang pasti terjadi bahwa siapa yang kuat dialah yang menang. 

Namun, dalam konteks Indonesia, keberadaan hukum menjadi keniscayaan yang tidak hanya semata-mata untuk mengatur kehidupan yang lebih baik melainkan juga konsekuensi logis dari negara kita yang menganut paham negara hukum.

Baca Juga: TNI AL Bongkar Pagar Laut di Tangerang, Laksamana Pertama I Made Wira Hady: Selesai Dalam 10 Hari

Oleh sebab itu, mengandung keharusan untuk mampu membangun atau menciptakan tata hukum nasional yang dapat menjadikan fungsi-fungsi hukum dalam masyarakat bangsa kita.

Dalam konteks itulah, prinsip "kesamaan di depan hukum" harus di tegakkan (equality before the law). Tak boleh ada segelintir manusia yang terpinggirkan atau yang terlupakan. Semua penduduk Indonesia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Seperti yang menjadi tujuan negara hukum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat (terakhir) dinyatakan: "...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .."

Dengan demikian, pagar laut di perairan Tangerang adalah refleksi tindakan semena-mena dan sewenang-wenang yang melanggar hak kedaulatan rakyat, HAM, dan hak fundamental rakyat (konstitusi). Tentu saja aparat penegak hukum harus menegakkan hukum secara lugas, tanpa diskriminasi sehingga kewibawaan kesetaraan hukum dapat terwujud tanpa melihatnya dari strata sosial sebagai konglomerat (oligarki).

Baca Juga: Nusron Wahid: 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan Pagar Laut di Tangerang Milik Perusahaan dan Perorangan

Bagaimanapun, pembangunan yang mengatasnamakan proyek PSN PIK-2 telah merugikan nelayan sekitarnya untuk hidup mencari nafkah. Walaupun, habitat masyarakat ini sudah hidup turun temurun, tetapi kini terusik dengan adanya pihak yang mengkapling-kapling laut dan membuatkan sertifikat di atasnya. Akibatnya, masyarakat selaku penduduk sah justru terlupakan dan terpinggirkan.

Karena itulah, modus oligarki proyek negara dalam negara PIK 2 makin terungkap banyak rekayasa dan manipulasi  di dalamnya. Maka, sudah tepatlah jika Presiden RI perintahkan usut tuntas keberadaan pagar laut yang sudah seperti negara dalam negara. Fakta ini juga makin menunjukkan bahwa proyek strategis nasional hanyalah "topeng" untuk melancarkan proyek-proyek "mercusuar" selanjutnya.

Berbagai ketegangan bangsa tak akan selesai (tuntas) jika rule of law tidak dilaksanakan, dan kewibawaan kesetaraan hukum juga tidak terwujud. Sebab, rakyat pemilik republik ini merasa diperlakukan tidak adil merasa terpinggirkan ketika hukum hanya berpihak pada yang kuat.

Baca Juga: Sakti Wahyu Trenggono: Prabowo Subianto Perintahkan Jajarannya Mengusut Pagar Laut di Perairan Tangerang

Menerangi Hati Rakyat

Untuk menerangi hati rakyat, sepatutnya pemimpin bicara dengan bahasa hati, memberikan perlindungan/pengayoman yang jelas kepada rakyat. Rakyat tidak dibiarkan kebingungan, sehingga segala hal Ikhwal yang menjadi polemik masalah ada solusinya (proporsional). Mengapa harus ada pagar laut, siapa yang menyuruh (bertanggung jawab), mengapa laut ada pemiliknya (SHGB - SHM) sehingga semua jadi clear (jelas). Begitu pula pada institusi yang mengeluarkan izin atau sertifikat, semua dengan pola saling lempar tanggung jawab (kontroversial).

Bukankah pintu transparansi atau keterbukaan harus dibuka lebar-lebar, agar supaya kejujuran bisa bersemayam dalam hati nurani. Dengarkanlah bisikan rakyat yang polos karena di sanalah suara kebenaran sesungguhnya. Bukan hanya sebatas mendengar kemauan pemilik kekuatan finansial yang bisa "menghalalkan segala cara" sehingga berimplikasi kepada penyalahgunaan mekanisme dan prosedur yang ada.

Baca Juga: Menteri Nusron Wahid Batalkan Sertifikat Pagar Laut di Perairan Tangerang

Keseluruhan masalah dan isu yang ada, terkait pagar laut dan kepemilikan sertifikat illegal akan menjadi pengingat bahwa betapa pentingnya birokrasi yang bersih (Good and Clear), penegakan hukum yang kuat, serta aparatur yang berintegritas. Sehingga ke depan kita tak menemukan ada sistem yang berada dalam wilayah "abu-abu" atau aparat yang "gagap" dalam menjalankan kebijakan yang benar.

Kini, saatnya presiden di 100 hari kepemimpinannya memberikan keteladanan untuk menerangi hati rakyat dengan memberikan hak-hak dasar yang dijamin konstitusi dan kembali meneguhkan hati melawan mafia dan oligarki.

Sekali lagi, kembali memulihkan kepercayaan kepada rakyat, sehingga seluruh pemangku kepentingan negara bisa lebih "merdeka" bertindak, tanpa ada keraguan dalam menjalankan amanat rakyat. Memang, harus memiliki moralitas aktor, dengan upaya itu institusi negara kembali dapat "membanggakan" di hati rakyat. Pemimpin yang memiliki pondasi kuat "modal moral" (moral capital) yang bisa membawa bangsa ini keluar dari cengkeraman krisis kepercayaan.

Baca Juga: Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono Sebut Pemilik Pagar Laut Akan Didenda Rp18 Juta per Kilometer

Walhasil, pemulihan kepercayaan rakyat bisa dimulai dari sengkarut problematik "pemagaran laut" dan keberadaan "sertifikat illegal". Dengan cara hukum menundukkan oligarki untuk menciptakan kewibawaan kesetaraan hukum.

Jakarta, 23 Januari 2025

*Abustan, pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta. ***

Halaman:

Berita Terkait