Tito Gatsu: Perebutan Dinasti Oligarki Elite Politik dan Akal Akalan Orde Baru
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 16 Mei 2023 16:06 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Gejolak tentang peran Islam radikal dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menyembunyikan dimensi lain dari politik Indonesia: upaya puluhan tahun dari keluarga elite lama Orde Baru untuk merebut kursi kepresidenan di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri jika kekuasaan di Indonesia dipengaruhi oleh dua generasi keluarga elit, dari Orde Lama dan Orde Baru, seperti:
Generasi Pertama: Sukarno, Gus Dur dan Megawati merupakan keluarga elite Orde Lama dan juga mempunyai kemampuan menentukan presiden, misalnya Jokowi dan sekarang Ganjar Pranowo (PDIP & NU).
Baca Juga: SEA Games 2023: Emas All Indonesia Final Milik Ana dan Tiwi
Kemudian Generasi Kedua: Suharto, BJ Habibie dan SBY juga merupakan keluarga elite Orde Baru, yang juga didukung kekuatan besar oligarki yang menguasai modal.
Seperti: Keluarga Cendana, Cikeas, Kerajaan Bisnis Jusuf Kalla, Surya Paloh dan Hasjim Djojohadikusumo. Tentu masih memainkan politik tangkap dan jaring, yang satu dibuat moderat (Prabowo Subianto) dan yang satu dibuat Islam radikal (Anies Baswedan). Padahal keduanya sama sama mewakili dinasti Orde Baru .
Terlepas dari penekanan pada agama sebagai kekuatan utama baru dalam politik, pentingnya hubungan keluarga dan keluarga yang terus berlanjut mengungkapkan, bagaimana ambisi lama masih mendapatkan momentum di masa sekarang.
Baca Juga: Duh, Penyakit Kelamin Sifilis Meningkat di Indonesia, Ini Penyebabnya
Mari kita simak Pendapat Profesor Henk Schulte Nordholt, Pengajar Universitas Leiden. Ia berkata:
Pada tahun 1983 ketika saya berada di Jakarta untuk melakukan penelitian PhD saya, acara masyarakat besar mendominasi berita utama. Putra ekonom ternama Sumitro Djojohadikusumo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi, putri Presiden Soeharto.
Keluarga Djojohadikusumo telah berdiri dan datang selama beberapa dekade. Pada tahun 1940-an, ayah Sumitro, Margono Djojohadikusumo, adalah seorang pendiri Bank Negara Indonesia. Sedangkan Sumitro sendiri berperan aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Konflik politik pada akhir 1950-an mengganggu karier Sumitro, tetapi ia bangkit kembali pada 1960-an di bawah presiden Suharto.
Baca Juga: SEA Games 2023: Kalahkan Malaysia, Rehan dan Lisa Raih Emas Bulu Tangkis
Perkawinan putra Sumitro, Prabowo Subianto, dengan Siti Hediati Hariyadi, putri Presiden, mempererat persatuan antara kedua keluarga dan membuka masa depan cerah bagi menantu Presiden, yang saat itu sedang membuat karier yang sukses di ketentaraan.
Orang-orang berbisik bahwa dia ditakdirkan untuk menjadi Presiden berikutnya.
Pada pertengahan 1990-an saya mengunjungi seorang teman di Jakarta yang merupakan mantan juara pencak silat Indonesia.
Prabowo kini menjadi petinggi TNI yang diduga terlibat pelanggaran HAM di Timor Timur dan Papua. Teman saya bercerita bahwa dia diundang oleh Prabowo untuk menjadi bagian dari rombongan orang kuatnya.
Ketika teman saya berkunjung ke rumah Probowo, dia sedang memberi makan seekor ular besar yang dia pelihara di sebuah terarium di ruang tamunya.
Baca Juga: Tim Butler Bowdon: Rahasia Kesuksesan Para Miliarder
‘’Kamu tahu Henk, orang biasa menonton televisi tetapi Prabowo melempar tikus hidup ke dalam terarium dan mengatakan dia sangat suka melihat bagaimana mereka ditelan.’’
Dua tahun kemudian, Mei 1998, Soeharto lengser, karir militer Prabowo berakhir, dan pernikahannya kandas. Di sudut gelap sebuah restoran Italia di Menteng Jakarta, tersembunyi di balik kacamata hitam, Sumitro Djojohadikusumo yang ringkih duduk merokok.
Di sana dia bertemu dengan salah satu mantan asistennya, yang sekarang menjadi ekonom terkemuka.
Mimpi kepresidenan keluarga Sumitro (dulu disebut “Kennedy Indonesia”) hancur lebur. “Kami telah kehilangan segalanya”, kata Sumitro.
Namun, terlepas dari prediksi yang mengerikan ini, kariernya belum berakhir. Keluarga datang untuk menyelamatkan, dan dengan bantuan saudara laki-lakinya, pengusaha kaya Hashim Djojohadikusumo, Prabowo kembali tampil luar biasa di bidang politik.
Tahun 2009 menjadi cawapres Megawati yang kalah dalam pemilihan presiden, dan tahun 2014 Prabowo kalah lagi, kali ini sebagai calon presiden.
Pada akhir April tahun itu, partai politik Prabowo sendiri, Gerindra, mendukung keberhasilan kampanye Anies Baswedan yang terpilih sebagai Gubernur Jakarta yang baru. Sebagai imbalan atas dukungannya, Prabowo mengharapkan Anies mendukungnya ketika dia mencalonkan diri sebagai presiden sekali lagi pada 2019.
Setelah hampir 40 tahun, Prabowo rupanya masih terobsesi untuk memenangkan kursi kepresidenan dan hasil pemilu 2019 telah menentukan apakah nasib keluarga Djojohadikusumo telah gagal.
Tetapi dengan berbagai cara merangkul pemerintah melakukan berbagai cara untuk maju kembali di Pilpres 2024, dan yang menarik ternyata Anies sendiri yang memutuskan mencalonkan diri sebagai Presiden.
Sungguh akal-akalan berlapis dan apakah rakyat Indonesia tatap dibuat terlena?
Seperti yang ditunjukkan semua ini, meskipun tidak dapat disangkal bahwa Islam radikal adalah kekuatan yang harus diperhitungkan, hal itu tidak boleh mengaburkan fakta bahwa politik keluarga oligarkis masih memainkan peran yang kuat, bahkan menentukan, dalam pemerintahan.
Salam Damai Persatuan dan Cinta Indonesia
Tito Gatsu.