Puisi Abu Khalid: Calo Jabatan di Pantai Kelam
- Penulis : M. Ulil Albab
- Minggu, 29 Desember 2024 10:19 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Tampaklah fajar di atas pasir putih,
ombak kecil mencium karang,
angin berhembus menjemput pagi.
Pantai kelam penuh cerita getir,
di sana para calo jabatan berbisik lirih,
berjalan ringan di sela licinnya bebatuan.
"Pilkada usai, saatnya peluang terbuka,"
bisik mereka sambil menimbang janji,
mencari celah di sela kepentingan.
Terik mentari memantul di air asin,
ombak bergulung membawa debu,
langit biru berarak awan kelabu.
Di bawah pohon kelapa yang mulai meranggas,
seorang ASN mengusap dahi penuh peluh,
menimbang mimpi di tengah badai amanat.
"Ini saatnya naik derajat," pikirnya,
namun jalan yang lurus semakin gelap,
karena lintah laut bersembunyi di bayang gelap.
Perahu kecil melaju ke tengah laut,
layarnya sobek diterpa badai,
laut berbisik memanggil suram.
Para calo berbincang di balik layar,
mereka menawarkan harapan palsu,
dengan harga yang tak masuk akal.
"Titipkan namamu, biar kami yang urus,"
kata mereka sambil menghitung emas,
menggadaikan integritas di tepi pantai.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ambillah Ginjal Ibu, Anakku
Langit sore berubah jingga muram,
angin menyapu daun nyiur,
ombak tinggi mencium dermaga.
Di sudut pantai seorang pemimpin baru,
terlihat ragu di tengah lautan janji,
menghindar dari para pelobi berselubung.
"Tak mudah berjalan diatas pasir ini,"
bisiknya sambil memandang jauh,
menakar langkah di hamparan keruh.
Gulungan ombak membawa sampah,
ikan kecil terjebak di sela plastik,
matahari redup menunggu senja.
ASN yang jujur terombang-ambing,
di antara pilihan moral dan ambisi,
terpaut dalam arus deras pragmatisme.
"Jika aku bertahan, akankah tenggelam?"
hatinya bertanya di tengah deburan,
menghadapi badai yang tak kunjung reda.
Malam tiba, bintang sembunyi malu,
bulan purnama terhalang awan hitam,
pantai sunyi ditemani suara jangkrik.
Para calo kembali menebar jala,
menangkap mimpi mereka yang lemah,
mengisi kantong dari kebijakan semu.
"Mau naik pangkat? Serahkan mahar,"
bisikan itu menggema di angkasa,
menyelimuti malam dengan kepalsuan.
Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Pelukan Tanpa Akhir
Debur ombak memukul karang retak,
pantai kelam semakin menakutkan,
air surut membawa aroma amis.
Pemimpin daerah kini di persimpangan,
memilih berpihak pada kebenaran,
atau hanyut dalam permainan kotor.
"Keadilan di mana ketika pantai ini kumuh?"
tanyanya sambil menatap gelap,
berdoa agar pagi membawa terang.
Fajar baru, namun pantai tetap muram,
ombak kecil membawa janji basi,
angin dingin menusuk tulang rapuh.
ASN jujur mengayuh dayung kecil,
menjauh dari godaan calo licik,
menggapai dermaga di ujung harapan.
"Integritas adalah perahu kecilku,"
bisiknya di tengah perjalanan,
menghadapi arus demi cahaya.
Di ufuk timur, matahari mulai malu,
ombak kecil menyambut pagi baru,
burung camar terbang dengan riang.
Pemimpin sadar akan janji suci,
memutus rantai calo jabatan kotor,
membersihkan pantai dari tangan kotor.
"Demi rakyat, pantai ini harus bersih,"
ujarnya di hadapan samudra luas,
mengakhiri cerita kelam pantai kelam.
Baca Juga: Puisi Hendraone Basel: Rintik Pagi di Toboali
Abu Khalid
Desember 2024 ***