Puisi Hendraone Basel: Rintik Pagi di Toboali
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 25 Desember 2024 19:26 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Bintang malam kini sirna, redup tertutup mendung kelabu,
Angin lembut meniup dedaunan, dingin terasa di celah jendela.
Di kota kecil ini, subuh menyapa penuh bisikan syahdu,
Toboali, tempat hatiku berlabuh, aku rindu dalam sukma.
Kala embun menggenang di daun sirih,
Langit meredup, memberi pesan lirih.
Ah, Toboali, kau kisah tak pernah letih,
Menyimpan kenangan, meski waktu terus memerih.
Adzan subuh berkumandang, menggetarkan hati yang tenang,
Suara beduk menyambut pagi, tanda iman yang masih erat.
Hujan rintik turun perlahan, menyatu dengan nyanyian burung terang,
Kehangatan kota kecil ini, tak pernah terganti oleh nikmat dunia yang berat.
Di gang kecil, orang-orang melangkah khidmat,
Berpayung doa, merenda nasib dan niat.
Oh Toboali, kampungku yang hangat,
Engkau arena kecil yang tak terlipat.
Selepas subuh, kopi hangat mengepul di cangkir tanah liat,
Emak menyajikan kue tradisional, aroma melati menyelimut pagi.
Angin membawa harum laut, rindu itu menyeruak cepat,
Ah, Toboali, peluklah aku, meski hanya di mimpi.
Langit masih gelap, namun jiwa terasa cerah,
Di balik jendela, kutatap nostalgia yang ramah.
Kota kecilku, engkau puisi tanpa lelah,
Mengajariku arti cinta yang tak pernah punah.
Jam berdetak perlahan, waktu menyusup lembut di pagi minggu,
Para nelayan pulang membawa hasil, cerita mereka merayap di telinga.
Hujan yang turun menambah syahdu, seperti melukis sajak rindu,
Toboali, kota kecil penuh makna, kehadiranmu bagai cahaya.
Terdengar suara bocah bermain di jalan basah,
Tertawa lepas meski cuaca tak cerah.
Ah, masa kecilku dulu begitu indah,
Kini tinggal bayang, mengisi jiwa yang lelah.
Warung kopi dekat pasar mulai ramai, obrolan ringan menghangat,
Tentang tangkapan ikan, hujan, dan hari-hari penuh kerja keras.
Toboali adalah segenggam cerita, kenangan yang erat,
Di sini aku belajar hidup, meski terkadang terpisah jarak dan batas.
Hujan terus menari, melukis pelangi kecil,
Menghias jalan kota yang tetap kekal dan lentur.
Kota ini seperti buku yang selalu jujur,
Tentang kehangatan hidup yang sederhana namun syukur.
Pukul enam pagi, hujan mulai reda, namun tanah masih basah,
Langit mendung memeluk kota ini dengan lembut.
Orang-orang berjalan perlahan, membawa harapan di wajah,
Toboali, kau rumahku, tempat semua luka berakhir dengan lembut.
Laut di kejauhan masih bergemuruh lirih,
Debur ombak menyatu dengan langit yang bersih.
Di sini tak ada mimpi yang teramat letih,
Semua terasa nyata, penuh cinta yang gigih.
Di pasar kecil, para penjual mulai tertawa ramah,
Menawarkan hasil bumi yang segar penuh cerita.
Hujan menghilang, meninggalkan aroma tanah,
Toboali, dimana hidup begitu sederhana tapi bermakna.
Sapaan hangat dari wajah-wajah tua,
Mengingatkanku pada kasih yang tak pernah lupa.
Oh kota kecilku, engkau adalah doa,
Yang kurindukan setiap langkah di dunia.
Jam menunjukkan pukul tujuh, cahaya matahari malu-malu muncul,
Anak-anak bersepeda melintasi jalan, menyisakan jejak tawa.
Hujan telah usai, namun kenangan pagi tetap tersemat utuh,
Toboali, kau tak hanya kota, kau adalah cinta yang tak pernah sirna.
Burung kembali berkicau, membangun sarang,
Pagi ini penuh harmoni, menenangkan.
Engkau tak hanya indah, tapi mengajarkan,
Bagaimana menghargai setiap momen kehidupan.
Pukul delapan, aku duduk di beranda, menikmati angin sejuk,
Langit masih kelabu, tapi hatiku penuh warna-warni.
Toboali, tempat lahirku, tempat rinduku bertaut erat,
Hari ini kubiarkan kau hidup dalam ingatan esok hari.
Engkau kota kecil penuh sejarah,
Di hatiku tak ada yang bisa menghapus jejak.
Toboali, engkau rumah yang tak pernah lelah,
Membawa rinduku kembali ke pangkuan kasih yang megah.
hendraone basel. ***