DECEMBER 9, 2022
Internasional

KAHMI Eropa Raya: Tingkatkan Diplomasi untuk Antisipasi Kebijakan Anti-Muslim Donald Trump

image
Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyatakan sudah saatnya konflik di Ukraina berakhir, dan sekali lagi berjanji untuk "bekerja sangat keras" guna menyelesaikan masalah tersebut. /ANTARA/foto-Anadolu/py

ORBITINDONESIA.COM - Korps Alumi Himpunan Mahasiswa Islam atau KAHMI Eropa Raya menilai perlunya pemerintah berbagai negara meningkatkan upaya-upaya diplomasi, untuk mengantisipasi kebijakan anti-Muslim dari Presiden terpilih AS Donald Trump.

Dalam Kajian Jumat Eropa, 15 November 2024, yang diselenggarakan secara daring oleh KAHMI Eropa, dipaparkan bagaimana pidato-pidato Donald Trump selama periode pertama pemerintahannya pada 2017-2021 mengindikasikan kebencian dan anggapan bahwa Muslim adalah ancaman.

“Sejak tahun 2011 bahkan kita sudah mendengar bagaimana Presiden Donald Trump melalui pidatonya menyatakan kepercayaannya tentang Islam yang dianggap membenci Amerika, sehingga diyakini sebagai ancaman bagi negara adidaya tersebut,” kata Muhammad Vicky Afris Suryono, mahasiswa Master Sociology of Law, Lund University, Swedia, selaku narasumber diskusi.

Baca Juga: Berkait OPINI Berantai Jokowi Gagal Membuka Munas KAHMI, Kenapa? Oleh Ayu Nitiraharjo, Ini Penjelasan KAHMI

Ia juga menganalisis persona anti-Muslim Trump dilihat dari sudut pandang sosial-kognitif.

"Dari sudut pandang sosial-kognitif, Trump menggambarkan sosok yang anti-Muslim, baik dari sisi moral foundation yang dibangun, preferensi tatanan sosial, selective exposure, dan ancaman bagi identitas kolektif Amerika," ujar Vicky.

Lebih lanjut, Vicky menjelaskan pentingnya untuk tidak terjebak pada dikotomi epistemologi Barat terhadap Islam, terlebih dalam isu-isu diskriminasi dan penindasan terhadap umat Muslim.

Baca Juga: Tokoh KAHMI Tantan Taufik Lubis Hadiri Kongres di Moskow untuk Persahabatan Indonesia dan Rusia

“Kita telah terperangkap dalam epistemologi Barat dengan menggolongkan Islam sebagai sayap kiri atau sayap kanan, yang telah menimbulkan dilema dalam memahami fenomena ini. Sebaiknya kita memandang Islam sebagai satu kesatuan,” kata Ketua (Perhimpunan Pelajar Indonesia) PPI Swedia tersebut.

Dari sudut pandang Muslim di Eropa, katanya, kemenangan Trump dikhawatirkan membangkitkan momentum partai-partai sayap kanan di Eropa yang akan berujung pada meningkatnya intensitas Islamofobia di Eropa.

Di sisi lain, ada juga anggapan bahwa siapapun Presiden Amerika yang terpilih, tidak akan begitu berpengaruh mengingat kedua partai besar di Amerika sama-sama tidak pro terhadap Muslim.

Baca Juga: Rosan Roeslani Sebut Keluarga Donald Trump, Jared Kushner Tertarik Berinvestasi di Indonesia

Terlebih lagi, negara-negara Islam di Timur Tengah sudah tidak sepenuhnya tergantung pada AS.

Halaman:
1
2

Berita Terkait