Catatan Denny JA: Seniman yang Tak Kembali
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Senin, 07 Oktober 2024 16:07 WIB
Di Peking, kuasnya masih menari,
puisi mengalir lembut di dadanya.
Setiap goresan adalah harapan,
namun dunia tak mendengar,
politik memutar takdir dengan kejam.
Saat Bung Karno jatuh,
Rahman tersapu arus yang tak ia kenali,
hanyut bersama serpihan mimpi,
jejaknya menghilang di trotoar Braga,
sebelum ada yang bisa mengenangnya.
Kini, di ujung waktu,
Rahman tahu:
ia memang bukan pion revolusi.
Sejarah salah menempatkannya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen
Ia hanya seniman yang tersingkir dari kanvas hidupnya.
Warnanya direnggut kekuasaan.
-000-
Di Moskow, di Belanda,
ia perahu tanpa dermaga,
terapung di pantai asing
yang tak pernah memberi rumah.
Baca Juga: Catatan Denny JA: 12 Jam Protes Berbaring di Jalan Raya
Negeri itu memang memberinya atap.
Tapi itu atap yang dingin,
hanya teh pagi yang tak lagi hangat di Lembang,
kabut yang menyelimut,
tapi tanpa keakraban.
Mereka memberinya tempat bersandar,
tapi hatinya masih tertinggal di gang sempit Bandung,
di tawa pasar alun-alun.
Rindu yang tak berjawab.
Rahman ingin pulang,
bukan ke tanah yang melupakannya,
tapi ke dirinya sendiri—
pelukis yang bebas,
penyair yang menghidupi cinta.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?
Namun tubuhnya rapuh,
tangannya gemetar di setiap sapuan kuas,
suaranya lenyap di balik gemuruh sejarah
yang tak pernah ia kendalikan.