Catatan Denny JA: Seniman yang Tak Kembali
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Senin, 07 Oktober 2024 16:07 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Setelah terlempar oleh prahara politik tahun 1960-an di negeri asing, Rahman menyadari bahwa hidupnya bukanlah tentang revolusi, melainkan tentang cinta yang dituangkan dalam lukisan dan puisi.
-000-
Rahman duduk di kursi tua,
dinaungi pohon yang menggenggam kenangannya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Akar Keluarga di Kebumen
Tubuhnya layu,
seperti daun yang enggan jatuh.
Matanya menatap langit pudar,
kanvas kelabu yang kehilangan warna.
Hari-harinya membeku,
sepi.
Dulu ia seniman,
menyimpan senja di Bukit Bandung,
merangkai kata-kata selembut angin Tangkuban Perahu.
Namun sejarah menerjang seperti badai,
menyapu jejaknya dari tanah air,
menyeretnya ke negeri asing,
menghapus namanya dari catatan zaman.
Baca Juga: Catatan Denny JA: 12 Jam Protes Berbaring di Jalan Raya
Negara mengirimnya jauh,
belajar keluar negeri,
tahun enam puluhan,
mengejar bintang revolusi.
Padahal yang ia dambakan hanya gerimis
di atas genteng rumah di Bandung,
dan senja tenggelam di Dago.
Ia tak pernah ingin menjadi prajurit politik.
Ia hanya pelukis,
yang berbicara dalam diam,
penyair yang merangkul dunia dengan lembut.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?
Tapi roda sejarah tak berhenti,
menggilas warnanya,
menenggelamkannya dalam pusaran ideologi
yang tak pernah ia pahami.