Yuval Noah Harari dan Mochtar Lubis Tentang Mentalitas Bangsa
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 24 September 2024 06:00 WIB
Oleh Albertus M. Patty
Satu hal penting yang mendorong kemajuan bangsa adalah pada mentalitasnya. Tulisan ini menelisik kondisi kita semua yang sesungguhnya sedang berada dalam persimpangan antara: mentalitas bangsa Indonesia menurut Mochtar Lubis dan mentalitas yang, menurut Harari, seharusnya dimiliki bangsa yang ingin survive dan maju di tengah derasnya arus transformasi sosial dan digital. Diperhadapkan pada pilihan itu jalan mana atau mentalitas mana yang kita pilih?
Dalam 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari berbicara tentang bagaimana manusia perlu menghadapi dunia yang terus berubah dengan fleksibilitas mental, kecerdasan emosional, dan keberanian menghadapi ketidakpastian. Di tengah ledakan teknologi, kecerdasan buatan, dan revolusi digital, manusia dituntut beradaptasi secara cepat.
Baca Juga: Denny JA: Mochtar Lubis, Penulis dengan Sikap Politik yang Tegas
Harari menegaskan bahwa di masa depan, keterampilan teknis yang kita kuasai kini mungkin akan usang esok hari. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis, terus belajar, dan memilah kebenaran di antara lautan informasi menjadi kualitas penting untuk bertahan hidup dalam dunia baru ini.
Apakah mentalitas yang digambarkan Harari dimiliki bangsa kita? Memandang bangsa Indonesia melalui lensa bidikan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang lebih dalam.
Lubis mengkritik mentalitas bangsa Indonesia yang masih terjebak dalam feodalisme, hipokrisi, ketidakdisiplinan, dan ketergantungan pada otoritas. Mentalitas ini, menurut Lubis, menghambat kemajuan dan membiarkan ketidakadilan serta stagnasi merajalela.
Salah satu kekuatan yang memperparah kondisi ini adalah oligarki—sebuah jaringan kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi dan politik.
Oligarki ini, dengan pengaruh yang luas, sering menghambat inovasi dan perubahan, mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka. Mereka menguasai sumber daya, media, dan kebijakan publik, menciptakan struktur hierarkis yang semakin menjerat bangsa dalam ketergantungan.
Jika Harari berbicara tentang masa depan yang harus dihadapi dengan keberanian, daya tahan dan kreatifitas, oligarki di Indonesia justru menjadi kekuatan yang menahan perubahan, membuat bangsa sulit bergerak maju. Pada kaum oligarki inilah borok-borok bangsa kita justru semakin terbuka lebar.
Baca Juga: Albertus Patty: Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
Bayangkan seorang pemuda di Indonesia yang bergumul dalam 'tension' saat berada di persimpangan antara dunia digital dan kenyataan oligarki yang menjerat. Di satu sisi, dunia teknologi membuka peluang untuk berinovasi dan membebaskan diri dari keterbatasan lama, sebagaimana Harari katakan: "Masa depan bukan milik mereka yang hanya bergantung pada keterampilan lama, tapi mereka yang mampu terus belajar."