Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin Bubarkan Parlemen, Akhiri Pemerintahan PM Sheikh Hasina
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 07 Agustus 2024 00:10 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin membubarkan parlemen sebagai tanda berakhirnya era pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina yang melarikan diri ke India setelah menghadapi demonstrasi besar-besaran menolak kuota PNS di negara itu.
Kepresidenan Bangladesh dalam sebuah pernyataan, Selasa, 6 Agustus 2024 menjelaskan bahwa keputusan itu diambil setelah berdiskusi dengan para kepala angkatan bersenjata, para pemimpin partai politik, perwakilan masyarakat sipil, dan para pemimpin gerakan protes yang dipimpin mahasiswa.
Mahasiswa telah memberikan batas waktu 24 jam untuk membubarkan parlemen Bangladesh dan mengumumkan pemerintahan sementara.
Baca Juga: Josep Borrel: Uni Eropa Desak Transisi Damai Menuju Pemerintahan Baru yang Demokratis di Bangladesh
Kepresidenan Bangladesh mengatakan bahwa Khaleda Zia, pemimpin oposisi utama dan Ketua Partai Nasionalis Bangladesh, juga dibebaskan.
Perempuan 78 tahun yang dua kali menjabat sebagai Perdana Menteri Bangladesh itu dijatuhi hukuman 17 tahun penjara karena korupsi pada 2018.
Parlemen terbentuk setelah pemilihan umum nasional 7 Januari 2024, yang dianggap kontroversial karena diboikot oleh partai-partai oposisi utama, termasuk Partai Nasionalis Bangladesh dan sekutunya Jamaat-e-Islami.
Baca Juga: Waduh, 500 Tahanan di Bangladesh Kabur Saat Terjadi Kerusuhan di Penjara Pusat Sherpur
Partai Liga Awami yang dipimpin Hasina menang karena partai-partai oposisi memboikot pemilu.
Dari total 300 kursi parlemen, Liga Awami memenangi 222 kursi, sekutunya Partai Jatiya 11 kursi, kandidat independen memenangi 62 kursi, dan sisanya dikantongi oleh partai-partai lain.
Jumlah pemilih tercatat 41,8 persen dari 120 juta pemilih terdaftar, menurut komisi pemilihan umum setempat.
Baca Juga: Kemlu RI: Seorang Warga Indonesia Meninggal Akibat Kebakaran Hotel di Tengah Kerusuhan Bangladesh
Namun, partai-partai oposisi mengklaim jumlah pemilih jauh lebih rendah daripada yang diklaim oleh komisi pemilu.