Adji Sularso: Aspek Penting Pengadaan Kapal Selam di Indonesia
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 21 Juli 2024 18:01 WIB
Oleh: Adji Sularso*
ORBITINDONESIA.COM - Indonesia pernah memiliki satu skuadron kapal selam kelas Whiskey sebanyak 12 unit pada saat menjelang Operasi Trikora dalam rangka merebut Irian Barat (kini Papua) pada era 1960-an.
Sejalan dengan dinamika politik dan perekonomian Indonesia, era Whiskey class berakhir sampai tahun 1990.
Baca Juga: Sinyal: Kapal Selam Kelas Ohio AS Dikirim Sebagai Bentuk Pencegahan Baru di Timur Tengah
Pada tahun 1980,era pengadaan kapal-kapal laut baru dan TNI AL membeli 2 kapal selam U boat kelas 209, yaitu KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402, kedua kapal ini sangat andal dan bertahan dengan usia lebih dari 40 tahun.
Pada tahun 2020 Indonesia melakukan pengadaan kapal selam kelas Nagapasa dari Korsel atau Changbogo class yang merupakan U boat class 209 modifikasi, sebanyak 3 unit dalam kerja sama alih teknologi, dimana 1 unit kapal dibangun di galangan PT. PAL Indonesia.
Kapal selam merupakan alutsista strategis yang punya peran penting bagi Angkatan Laut di seluruh dunia, termasuk Indonesia. TNI Angkatan Laut, dengan Komando Operasi Kapal Selam (Koopkasel) sebagai operator armada kapal selam di Indonesia selalu diupayakan dilengkapi dengan alutsista kapal selam dan pendukung operasionalnya.
Baca Juga: Panglima TNI dan Kasad Terima Brevet Kehormatan Hiu Kencana dari Korps Kapal Selam TNI AL
Namun dalam proses sejarahnya, pengadaan dan kepemilikan kapal selam sejak tahun 1960-an sampai saat ini ada begitu banyak hal yang bisa menjadi pelajaran berarti.
Pelajaran itu, terutama dilihat dari aspek-aspek penting, antara lain kebijakan politik negara; pilihan teknologi; penyiapan SDM pengawak; hingga sistem pemeliharaan.
Pertama, kebijakan politik Indonesia yang bebas dan aktif serta doktrin pertahanan yang defensif aktif menjadikan Indonesia memiliki kebebasan dalam menentukan jumlah, jenis, dan tingkat kecanggihan teknologinya.
Hal yang selalu menjadi dilema adalah kesenjangan antara kebutuhan ideal dengan ketersediaan anggaran negara, yang pada akhirnya jatuh pada pilihan pengadaan dengan memanfaatkan pinjaman luar negeri dalam skema kredit ekspor (KE).