Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (5): Luka Itu Dia Bawa Sampai Mati
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 07 Mei 2024 10:10 WIB
Sakinah dibebaskan ketika Jepang kalah perang.
Ia pun pergi ke Bali,
dengan identitas baru.
Punya teman baru.
Punya suami.
Suami Sakinah meninggal terlebih dahulu, sepuluh tahun sebelumnya.
Itu yang membuat Sakinah sangat sedih.
Suami sangat mencintainya.
Tapi suami tak tahu,
siapa Sakinah sebenarnya.
Suaminya tak tahu,
bahwa ratusan tentara Jepang pernah memperkosanya.
Sakinah merasa sangat bersalah.
Sejak suaminya wafat,
Sakinah berubah.
Ia membaca berita.
Gadis penghibur tentara Jepang asal Korea bicara di PBB.
Mereka menuntut pemerintah Jepang meminta maaf.
Sejak saat itu, Sakinah menjadi aktivis.
Ia menemui banyak perempuan Indonesia yang masih hidup, yang juga dipaksa menjadi gadis penghibur tentara Jepang.
Mereka juga menuntut pemerintah Jepang minta maaf,
dan ganti rugi.
Sakinah sudah sering ke luar negeri, menjadi pembicara, atau saksi.
Terbuka matanya.
Ternyata banyak sekali.
Sekitar 200 ribu perempuan, dipaksa menjadi gadis penghibur tentara Jepang di perang dunia kedua.
Mereka asal Cina, Korea, Taiwan, Filipina, juga Indonesia.
Shinta membaca dokumen itu.
Politisi Jepang Mayor Osaka, Toru Hashimoto membela diri.
“Daripada tentara Jepang memperkosa penduduk,
lebih baik disediakan rumah bordil.
Itu bagian disiplin tentara Jepang.”
Shinta juga membaca permintaan maaf dari pemerintah Jepang lewat Menteri Yohei Kono.
Jepang memberi ganti rugi 300 juta rupiah masing-masing kepada 280 gadis penghibur di Filipina, Taiwan, Korea Selatan.