DECEMBER 9, 2022
Kolom

Singapura Terdampak Swiftonomics, Indonesia Bisa juga dengan Van Halenomics: Sandiaga Uno Punya Tugas

image
(OrbitIndonesia/kiriman Akmal Nasery Basral)

Menteri Koordinasi Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan pun merepet "agak laen" sewaktu membuka Business Matching 2024, Kamis 7 Maret, dengan menyemburkan otokritik pedas terhadap jajaran Pemerintah RI yang disebutnya “kurang cerdas (dibandingkan Singapura) dalam mendatangkan Taylor Swift.”

Lalu diumumkanlah bahwa Indonesia dalam enam bulan ke depan akan mengadakan konser tandingan melalui konser eksklusif artis internasional lainnya. Terpukul betul Opung LBP tampaknya dengan kesuksesan Singapura menggaet Miss Americana.

Di luar urusan ekonomi, ada faktor sosiologis-historis yang menautkan Taylor Swift dengan Singapura. Ibunya, Andrea Swift, menghabiskan masa remaja di sana bersama orang tua dan seorang saudara perempuannya.

Baca Juga: KEREN! Tulus Ungguli Penyanyi Global dari BTS sampai Justin Bieber dan Taylor Swift

Tinggal dan bersekolah bertahun-tahun. “Saya merasa dekat dengan Singapura sejak lama dari cerita ibu saya,” ungkap Taylor.

Itu sebabnya sebelum konser hari pertama, Taylor diajak ibunya napak tilas ke bekas rumah dan sekolahnya di Singapura. Yang berarti adalah rumah kakek dan nenek Sang Miss Americana. Faktor perekat emosional ini tidak dimiliki tiga negara ASEAN (Thailand, Filipina, dan Indonesia) yang sedang kesal dengan Singapura. Dari perspektif ini, kisah menjadi menarik jika Pemerintah Indonesia sungguh-sungguh ingin melakukan ‘balas dendam’ kepada Singapura di pentas musik global.

Seperti Singapura dengan Taylor Swift, Indonesia punya faktor historis lebih erat dengan grup rock Van Halen, yang dimotori kakak-adik Alex Van Halen (drum) dan Edward “Eddy” Van Halen (gitar). Tak seorang pun pendengar musik rock—termasuk Gen Z sekarang—yang tak pernah mendengar nama grup legendaris ini dan lagu-lagu hit mereka seperti “Jump” atau “Dreams”.

Di sini fakta sosio-historis tersedia: ibu kandung Alex dan Eddy adalah seorang perempuan Indo-Belanda bernama Eugenia Van Beers yang lahir dan besar di kawasan Perkebunan di Rangkasbitung, Banten, menurut catatan sejarah kurator Museum Multatuli di Rangkasbitung dan sejarawan-pemimpin redaksi majalah Historia,  Bonnie Triyana.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, seorang pemusik jazz Belanda bernama Jan Van Halen sedang mengadu nasib di Hindia Belanda. Dari rencana awal hanya 6 pekan berubah menjadi 6 tahun.

Sepotong iklan koran Het Dagblad edisi 22 April 1948, contohnya, menyebut siaran musik selama setengah jam di Radio Batavia pukul 20.00 menampilkan trio Gyuri Rosenberg (piano), Andor von Sey (cello) dan Jan Van Halen (clarinet). Iklan lainnya bertarikh 12 Oktober tahun yang sama, mempromosikan penampilan Jan di Radio Indonesia Studio Batavia pukul 21.15.

Di periode itulah Jan berkenalan dengan Eugenia sebelum menikah pada 1950 dan hidup bahagia di Negeri Khatulistiwa. Namun kebijakan repatriasi (pemulangan) orang-orang Belanda yang dijalankan Orde Lama membuat pasangan muda tersebut harus hijrah ke Negeri Kincir Angin, tempat lahirnya anak-anak keluarga Van Halen: Alexander Arthur dan Edward Lodewijk.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait