DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr Abdul Aziz: Robohnya Mahkamah Konstitusi Kami

image
Dr Abdul Aziz tentang rusaknya MK.

Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

ORBITINDONESIA.COM - Apa yang kita banggakan dari Mahkamah Konstitusi (MK), benteng keadilan konstitusi produk reformasi pasca Orde Baru? Nothing!

Setelah MKMK (Majlis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) membuat putusan memberhentikan Ketua MK Anwar Usman, rakyat Indonesia terbelalak. Betapa rapuhnya benteng konstitusi yang gedungnya megah itu. Ketuanya Anwar Usman ternyata adalah hakim yang merobohkan MK tersebut.

Pimpinan sidang MKMK, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH dalam sidang yang di gelar di Gedung MK Jakarta, Selasa, 7 November 2023, memberi maklumat:

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Berkomitmen Perkuat Sinergisitas dengan Denma Mabes TNI

"Memutuskan, menyatakan, hakim terlapor (Anwar Usman, ketua MK), terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapatan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan."

Keputusan nomor 2/MKMK/L/11/2023 itu dibacakan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie: "Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor."

Rakyat akhirnya yakin, ternyata keputusan MK No 90 Tahun 2023, yang dibacakan pimpinan Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka untuk bisa menjadi cawapres Prabowo Subianto karena pernah menjabat pimpinan Daerah melalui pemilu), 16 Oktober 2023, melanggar kode etik berat.

Kode etik serius yang dilanggar, pertama Ketua MK Anwar Usman nota Bene adalah adik ipar Presiden Jokowi, yang otomatis pamannya Gibran.

Baca Juga: Sudah 2 Pekan Ditetapkan Jadi Tersangka Oleh KPK, Wamenkumham Eddy Hiariej Mengaku Tak Tahu

Kedua, keputusan MK tersebut "bersinggungan" dengan ambisi kekuasaan. Pinjam istilah mantan Gubernur Lemhannas, Dr. Andi Widjajanto, keputusan MK tersebut membuka peluang seseorang yang secara personal punya ambisi berkuasa tanpa mengindahkan etika.

Pelanggaran etik MK tersebut, akan berdampak besar bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena keputusan MK bersifat final dan mengikat, meski prosesnya melanggar etik.

Maka fondasi demokrasi dan anti-KKN (korupsi kolusi nepotisme) yang merupakan tujuan utama reformasi 1998 menjadi gelap. Di situlah tragedinya. Di situlah robohnya "pondok konstitusi" kami.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.

Baca Juga: Piala Dunia U17 2023, Presiden Jokowi Berikan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Gianni Infantino

Mahkamah Konstitusi RI didirikan 18 Agustus 2003. Dasar hukumnya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi MK adalah menguji undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik dan perselisihan hasil pemilu.

Sebelum ada MK, produk undang-undang di Indonesia tidak bisa digugat dan tidak dapat diuji. Sehingga undang-undang tidak bisa diganggu gugat. Sejak tahun 1945 sampai reformasi 1998, tidak pernah ada undang-undang yang diuji.

Juga tak ada pengadilan sengketa kewenangan antara lembaga negara dengan perorangan. Bahkan untuk menunjuk seseorang melanggar undang-undang atau tidak melanggar undang-undang, hanya penguasa yang bisa. Orang lain tidak bisa.

Saat itu, kepala negara seperti raja diraja. Negara adalah saya. Itulah urgensi keberadaan MK. Maka terjadilah reformasi politik pada 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Presiden Suharto. Salah satu tuntutannya adalah menegakkan hukum di Indonesia, tidak membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan, penindasan, dan lainnya.

Baca Juga: Hasil FP1 MotoGP Malaysia, Motor Aprilia Terbakar di Tikungan Keramat, Jorge Martin Menjadi yang Pertama

Setelah terjadi amandemen UUD 1945 pada 1999-2002, dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003. MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban.

Kewenangan MK adalah menguji UU berdasarkan UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara berdasarkan UUD 1945; dan memutus perselisihan pemilu termasuk pemilukada.

Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana lainnya; atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Dari gambaran di atas, jelas posisi MK sangat fundamental dalam sistem kenegaraan. MK adalah penjaga konstitusi. Karena itu, rapuhnya MK -- seperti ditunjukkan dalam kasus Anwar Usman di atas -- adalah cermin buruknya sistem kenegaraan Indonesia.

Kita berharap kasus seperti di atas tidak terjadi lagi. Ketua MK Anwar Usman karena pelanggaran etiknya kini telah diberhentikan MKMK. Penggantinya Suhartoyo, juga anggota MK.

Semoga MK di bawah Suhartoyo mampu memperbaiki citranya. Dari olok-olok Mahkamah Keluarga menjadi Mahkamah Konstitusi sejati yang bermarwah dan bermartabat. ***

Berita Terkait