Syaefudin Simon: Tenggelamnya Rumah Allah oleh Banjir Kapitalisme
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 07 Mei 2023 19:14 WIB
"Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan bukit."
Angawi, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan mendesak. Mekah harus siap.
Tapi Angawi justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan "lapisan-lapisan sejarah" Mekah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.
Baca Juga: JOKE POLITIK - Gubernur Lampung Menolak Dipanggil Jokowi
Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al-Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan ("Meniru seperti monyet," kata Angawi), ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.
Tapi bisakah transformasi Makkah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga.
Dengan catatan: dalam hal Makkah, bukan hanya karena "komersialisasi Baitullah" kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawi menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.
Wahabisme, kata Angawi, adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.
Baca Juga: Sambut Ganjar Pranowo, Ribuan Masyarakat Jember Penuhi Alun alun, Panitia: Tak Ada Settingan
Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi "syirik" bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah dan sebab itu harus disembah.