Syaefudin Simon: Tenggelamnya Rumah Allah oleh Banjir Kapitalisme
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 07 Mei 2023 19:14 WIB
Padahal hingga kini, Kota Makkah dan monumen Kabahnya yang hidup 24 jam itu, dikerumuni jutaan manusia tiap hari.
Makkah dan Kabah secara historis, bahkan hingga detik ini, adalah karya monumental yang telah puluhan ribu tahun menjadi pusat gaya sentripetal yang menarik umat manusia dari semua titik bumi.
Sejak zaman Krisna, Adam, Ibrahim, Ismail, dan Muhammad -- Kabah adalah tonggak sejarah yang menggambarkan eksistensi Tuhan Yang Maha Suci, yang bisa dijamah dan dicium manusia yang profan.
Baca Juga: Fakta Unik Phyla Vell, Superhero baru di Film Guardians of the Galaxy Vol 3
Bayanganku, landskap Kabah menggambarkan kebesaran Tuhan Semesta Alam. Jauh lebih indah dan anggun dari lanskap arsitektur Grand Palace di Bangkok, Lapangan Tiananmen di China, Monumen George Washington, Patung Liberty New York, dan Alun-alun Utara Yogya.
Dari kejauhan monumen-monumen sejarah itu tampak dengan segala kebesaran daya magisnya menarik manusia ke dalam pusat gravitasinya.
Hingga kini, itulah makna keberadaan Kabah di dunia. Ia magnet super besar yang punya gaya sentripetal amat kuat, untuk menarik umat manusia dari semua penjuru bumi mendekat kepadanya.
Tapi sayang, kebesaran gaya sentripetal Kabah tidak ditempatkan pada ruang semestinya. Umat Islam yang datang dari seluruh dunia, harus masuk ke lorong-lorong sempit tanpa keindahan lanskap arsitektur untuk melihat dan menatap Baitullah.
Baca Juga: Anton DH Nugrahanto: Membaca Serangan PSI ke PDIP
Sungguh ini sebuah tragedi arsitektural yang merendahkan Baitullah. Seakan-akan rumah Allah dicibir oleh rumah kaum kapitalis yang "merasa" lebih kaya dari Tuhan.