Agung Wibawanto: PR Berat Dunia Pendidikan Kita
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 04 Mei 2023 13:50 WIB

Berbalik dengan Dadang yang menganggap sekolah tidak perlu bagi Debby (anaknya), karena pasti menghabiskan biaya banyak, menghabiskan uang.
Bagi Dadang, anaknya seperti sudah ditakdirkan menggantikan ibunya kerja sebagai TKW, mencari dan mendapatkan uang banyak, agar ia tetap berstatus orang kaya.
Akum mengatakan pula bahwa rejeki setiap orang sudah ada yang mengatur. Tentu dialog itu membuat logika penonton jadi "bertempur" sendiri.
Baca Juga: JOKE: Kisah Empat Bapak yang Menunggu Kelahiran Anaknya dan Ternyata Kembar Semua
Kadang apa yang kita pikirkan tidak sesuai dengan wujudnya. Sinetron ini mampu mengulik-ulik antara perasaan dengan logika, antara idealis dengan pragmatis, antara harapan dengan kenyataan, dan antara butuh sekolah dengan tidak butuh sekolah, antara pintar tapi miskin dengan tidak pintar tapi kaya, antara punya keterampilan tapi menganggur dengan tidak punya keterampilan tapi kerja.
Seperti tadi saya katakan, bahwa sinetron ini tidak hanya cerita fiksi melainkan potret kehidupan nyata.
Salah satu PR (pekerjaan rumah) yang masih terus dibenahi dalam dunia pendidikan kita terutama adalah: tingginya angka putus sekolah. Jika dirunut penyebabnya maka (mungkin) dapat membongkar beberapa permasalahan yang ada selama ini.
Hal pertama, adalah biaya mahal. Mengapa rakyat masih belum menikmati pendidikan non-biaya yang berkualitas?
Baca Juga: Stabilitas dan Perdamaian Menjadi Syarat Mutlak Wujudkan Sentralitas ASEAN
Bukankah pendidikan salah satu pelayanan publik, di mana menjadi kewajiban negara membiayai. Bagaimana dengan swasta? Mengapa swasta harus turut menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang besar? Mengapa tidak diserahkan saja kepada pemerintah?