Agama Sebagai Produk Budaya Manusia: Review Pemikiran Denny JA tentang Agama Warisan Kultural
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 23 April 2023 10:34 WIB
Dalam penelitian ilmiah, sikap "sekuler" atau "religius" sebuah masyarakat dinilai berdasarkan indikator-indikator yang terukur, seperti pandangan tentang penting-tidaknya agama, keyakinan akan adanya tuhan, dan seberapa sering mereka melakukan doa atau ibadah dalam seminggu terakhir.
Indikator-indikator ini kemudian dikonversi menjadi angka yang merepresentasikan tingkat religiusitas dan sekuleritas mereka.
Yang menarik dari penelitian Inglehart adalah kenyataan ini: pemerintahan yang mampu memenuhi kesejahteraan dan kebebasan warganya, cenderung menghasilkan masyarakat yang sekuler.
Sedangkan pemerintahan yang tak peduli pada urusan warganya dan membuat mereka hidup tak nyaman, cenderung melahirkan masyarakat yang religius.
Dengan kata lain, kesejahteraan dekat dengan "kekafiran" (irreligion), dan bukan sebaliknya, bahwa kemiskinan akan membuat orang tak beragama (kafir).
Bagi sebagian orang, kenyataan di atas tentu menyesakkan. Dalam skala makro, agama ternyata tidak bisa berjalan beriringan dengan kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Agama hanya relevan bagi orang-orang miskin atau mereka yang hidup dalam ketidakpastian. Orang-orang yang hidupnya nyaman dan mengerti bagaimana dunia bekerja, cenderung tak membutuhkan agama. Atau paling tidak, ketergantungannya pada agama berkurang.
Penjelasan Ilmiah
Temuan Inglehart penting untuk menjawab salah satu dari dua fungsi utama agama yang saya sebutkan di atas, yakni bahwa agama menjadi tumpuan manusia ketika mereka tak memiliki tempat untuk bersandar.
Negara yang mampu memainkan peran tuhan--memenuhi harapan dan permintaan--cenderung membuat warga mengalihkan ketergantungannya pada agama. Sebaliknya, ketika negara absen, ketergantungan pada agama akan meningkat.