Refleksi Pancasila 1 Juni: Pilpres 2024, Pesta Demokrasi Zonder Sila ke-4
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 02 Juni 2023 11:27 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Selain beberapa partai politik yang telah mengumumkan bakal capresnya ke publik, beberapa partai politik lain sedang terus bertimbang untuk menentukan sikap politiknya.
Berbagai spekulasi tentang siapa capres dan cawapres masih jadi bahan perbincangan hangat. Mulai dari analis berlatar belakang akademis hingga pengamat politik tongkrongan warung kopi masih akan terus meramaikan ruang publik hingga berakhirnya batas waktu masa pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada 25 November 2023.
Namun demikian, genderang perang Pemilu Presiden 14 Februari 2024 telah mulai ditabuh. Meski masih bergelap-gelap dalam terang, para bakal capres telah curi start dengan berbagai kegiatan kunjungan ke berbagai daerah untuk jumpa fans, bahkan dengan alasan kegiatan keagamaan sekalipun.
Pesta demokrasi juga berubah menjadi peperangan di ruang media sosial sebagai ajang saling jegal dan saling jagal penuh penistaan dengan cara-cara biadab tanpa mengindahkan lagi etika dan norma-norma kepatutan.
Inilah praktik demokrasi yang cuma mempertontonkan kemesuman politik oleh sebuah persekongkolan jahat. Persekongkolan jahat yang dilakukan oleh kaum oligarki dengan memainkan praktik mobokrasi di mana rakyat dimobilisasi sebagai ornamen demokrasi.
Semua hingar bingar kemesuman politik yang penuh gegap gempita disponsori oleh para plutokrat yang terdiri dari para pemburu rente dimana mereka beramai-ramai ikut menginvestasikan dananya demi mengamankan kelangsungan bisnisnya.
Kemesuman politik seperti ini pada akhirnya menghidupkan sistem kleptokrasi, suatu pemerintahan yang dikendalikan oleh para pemimpin korup (kleptokrat). Kekuasaan digunakan untuk mengeksploitasi rakyat dan kekayaan alam demi menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dan memperhebat kekuatan politik mereka.
Baca Juga: Mulai Juni 2023, Pertamina Umumkan Harga BBM Terbaru, Jenis Pertamax Turun, Catat Harganya
Ironisnya, kemesuman politik yang terjadi akhirnya dijadikan semacam prosesi ritual lima tahunan yang disakralkan atas nama konstitusi dalam konteks bernegara.