Syaefudin Simon: Tenggelamnya Rumah Allah oleh Banjir Kapitalisme
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 07 Mei 2023 19:14 WIB
Catatan Syaefudin Simon
ORBITINDONESIA.COM - Baitullah tidak seperti yang aku bayangkan. Ia tenggelam oleh bangunan gedung dan hotel di sekitarnya.
Kabah tidak seperti menara Eiffel di Paris, menjadi penanda kota dengan lapangan luas di sekelilingnya yang anggun. Bahkan dibandingkan tugu Monas Jakarta sekali pun, Kabah kalah anggun lanskap arsitekturalnya.
Kabah seperti terperosok dalam gedung-gedung pencakar langit yang ada di sekitarnya. Ia hanya sebuah kotak hitam kecil di tengah gedung-gedung megah pencakar langit yang angkuh.
Baca Juga: Bioskop Trans TV: Beirut, Ketika Diplomat Amerika Terjebak dalam Konflik dan Politik di Lebanon
Barangkali, inilah lanskap arsitektural yang amat buruk di sebuah situs sejarah terpenting di muka bumi. Keberadaan situs Baitullah dikepung bangunan-bangunan yang mencerminkan ambisi duniawi manusia.
Nyaris tanpa menggambarkan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Bulan di atas Kabah seperti yang aku lihat semalam, tampak muram menyaksikan kebesaran Baitullah yang terkikis ambisi superficial di era -- pinjam sejarawan Yuval Noah Harari -- berakhirnya generasi biologis homo sapiens.
Kabah hanya menyempil di tengah balok-balok pencakar langit yang megah. Gedung-gedung pencakar langit seperti sosok Adam Smith, yang berkacak pinggang sambil tersenyum nyinyir, menyaksikan sekawanan manusia yang mengelilingi kubus hitam tanpa makna.
Di kota Makkah yang megah, Kabah seperti balok hitam kecil yang menumpang di halaman megah hotel-hotel mewah tempat bercengkerama nabi-nabi kapitalisme. Ia seperti tenggelam dilanda banjir kapitalisme dan hedonisme manusia abad 21.
Padahal hingga kini, Kota Makkah dan monumen Kabahnya yang hidup 24 jam itu, dikerumuni jutaan manusia tiap hari.
Makkah dan Kabah secara historis, bahkan hingga detik ini, adalah karya monumental yang telah puluhan ribu tahun menjadi pusat gaya sentripetal yang menarik umat manusia dari semua titik bumi.
Sejak zaman Krisna, Adam, Ibrahim, Ismail, dan Muhammad -- Kabah adalah tonggak sejarah yang menggambarkan eksistensi Tuhan Yang Maha Suci, yang bisa dijamah dan dicium manusia yang profan.
Baca Juga: Fakta Unik Phyla Vell, Superhero baru di Film Guardians of the Galaxy Vol 3
Bayanganku, landskap Kabah menggambarkan kebesaran Tuhan Semesta Alam. Jauh lebih indah dan anggun dari lanskap arsitektur Grand Palace di Bangkok, Lapangan Tiananmen di China, Monumen George Washington, Patung Liberty New York, dan Alun-alun Utara Yogya.
Dari kejauhan monumen-monumen sejarah itu tampak dengan segala kebesaran daya magisnya menarik manusia ke dalam pusat gravitasinya.
Hingga kini, itulah makna keberadaan Kabah di dunia. Ia magnet super besar yang punya gaya sentripetal amat kuat, untuk menarik umat manusia dari semua penjuru bumi mendekat kepadanya.
Tapi sayang, kebesaran gaya sentripetal Kabah tidak ditempatkan pada ruang semestinya. Umat Islam yang datang dari seluruh dunia, harus masuk ke lorong-lorong sempit tanpa keindahan lanskap arsitektur untuk melihat dan menatap Baitullah.
Baca Juga: Anton DH Nugrahanto: Membaca Serangan PSI ke PDIP
Sungguh ini sebuah tragedi arsitektural yang merendahkan Baitullah. Seakan-akan rumah Allah dicibir oleh rumah kaum kapitalis yang "merasa" lebih kaya dari Tuhan.
Andai saja aku tidak membaca puisi Rumi bahwa Rumah Tuhan ada di setiap hati manusia, kekecewaanku terhadap landscaping Kabah mungkin sulit terobati. Sungguh, secara faktual, aku kecewa melihat lenyapnya keagungan dan daya magis Kabah yang telah melahirkan peradaban paling gilang gemilang di muka bumi.
Dari umat Islam yang memuliakan Kabah itulah, sejarah mencatat telah lahir Ibnu Sina, Al-Jabr, Al-Kwarizmi, Al-Battani, Ibnu Khaldun, dan sederet perintis ilmu pengetahuan yang kini melahirkan dunia digital dan artificial intelligence (AI).
Aku teringat kata-kata Umar bin Khattab, sahabat Rasul. Jika aku tak menyaksikan Rasulullah mencium Hajar Aswad, aku pun tak akan pernah mencium batu hitam itu.
Baca Juga: Newcastle vs Arsenal, Berikut Catatan Statistik dan Rekor Head to Head Kedua Tim di Liga Inggris
Tapi karena Rasulullah menciumnya, aku pun mengikutinya. Itulah posisiku sekarang. Kabah masih tetap Rumah Allah yang suci. Hanya saja, manusia yang terjebak hedonisme kapitalisme, telah "membunuh" lanskap keagungan arsitektural rumah Allah itu.
Catatan Pinggir Tempo Goenawan Mohamad (GM) dengan narasi sarkasmenya menggambarkan posisi lanskap arsitektural Kabah yang kita lihat saat ini. Tulis GM:
"Betapa berubahnya Mekah. Duduk di salah satu sudut Masjidil Haram ketika matahari meredakan panasnya, kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan yang menjangkau langit dari arah selatan.
Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri sebuah super-gedung (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang disebut Abraj al-Bait. Raksasa ini lebih dari 600 meter tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia.
Baca Juga: JOKE - Presiden yang Dermawan Dikerjai Penjaga WC Umum yang Orang Madura
Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 meter, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter.
Dan berbeda dengan Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulis, "Allahu Akbar".
Di Abraj al-Bait ada 20 lantai pusat belanja dan sebuah hotel dengan 800 kamar. Juga tempat tinggal. Garasinya bisa menampung 1.000 mobil.
Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu menyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.
Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duit berlimpah bisa memandang ke bawahnya, jauh ke bawah mengamati ribuan muslim yang bertawaf mengelilingi Kabah, bagai semut yang berputar mengitari sekerat cokelat.
Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya "di bawah lindungan Kabah?"
Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi gedung-gedung jangkung, terutama Abraj al-Bait yang begitu megah dan gemerlap dengan 21.000 lampunya yang memancar sampai sejauh 30 kilometer dan membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.
Betapa berubahnya Makkah. Atau jangan-jangan malah berakhir. "It is the end of Mecca," kata Irfan al-Alawi, Direktur Pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London, kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami Angawi.
Baca Juga: Prediksi Pertandingan Newcastle vs Arsenal Dalam Laga Super Big Match Liga Inggris
Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang.
"Mereka ubah tempat ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan bukit."
Angawi, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan mendesak. Mekah harus siap.
Tapi Angawi justru melihat di situlah perkaranya. Ia menyaksikan "lapisan-lapisan sejarah" Mekah dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.
Baca Juga: JOKE POLITIK - Gubernur Lampung Menolak Dipanggil Jokowi
Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al-Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan ("Meniru seperti monyet," kata Angawi), ia merasa kalah total. Ia lebih suka tinggal di Kairo.
Tapi bisakah transformasi Makkah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga.
Dengan catatan: dalam hal Makkah, bukan hanya karena "komersialisasi Baitullah" kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawi menyebut satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.
Wahabisme, kata Angawi, adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.
Baca Juga: Sambut Ganjar Pranowo, Ribuan Masyarakat Jember Penuhi Alun alun, Panitia: Tak Ada Settingan
Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi "syirik" bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah dan sebab itu harus disembah.
Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi' diruntuhkan. Beberapa bagian kasidah karya Al-Busiri (12111294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca.
Di Mekah, makam Khadijah, istri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.
Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri "Komite Hijaz" di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.
Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan destruksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Makkah berubah.
Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkerim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams.
Dari sana Bung Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan angker mencurigai "kemodernan"; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu listrik.
Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al-Bait, bukan hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Apa yang terjadi?
Baca Juga: Fakta Unik Phyla Vell, Superhero baru di Film Guardians of the Galaxy Vol 3
Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik "kemodernan" (menidakkan masa depan), adalah sikap yang anti-Waktu.
Jam besar di Abraj al-Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah.
Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam? Mungkin piknik instan ke kemewahan."
Itulah yang terbersit di anganku. Tentang Makkah dan Kabah yang ditenggelamkan ambisi hedonisme-kapitalisme manusia.
Baca Juga: Cak Islah Bahrowi: Agama Tidak Primitif
Untungnya, kekecewaanku melihat Ka'bah Suci yang muram, terobati saat berada di Masjid Nabawi. Aku masih menyaksikan kebesaran Rasulullah dan Keagungan Allah di sekujur lanskap arsitektur Masjid Nabawi: mengagumkan dan menggetarkan hati setiap orang beriman.
Aku yakin sejarah masa depan, akan menyadarkan otoritas Kerajaan Arab Saudi untuk kembali menempatkan Kabah pada posisi kemuliaan dan keagungannya seperti ketika Rasulullah masih hidup. Kita ingat bahwa Tuhan Maha Kaya, Maha Kreatif, dan Maha Perekayasa. ***