Dr H Abustan: Civil Society Pemilu 2024 yang Lebih Berkualitas
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 26 Oktober 2023 13:50 WIB
Oleh: DR. H. Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta
Hari Rabu, tanggal 25 Oktober 2023, menjadi hari terakhir pendaftaran kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming (Pragib) menjadi pendaftar terakhir.
Setelah dua pasangan calon kuat sebelumnya mendaftar: Anis Bawesdan - Muhaimin Iskandar (Amin) dan Ganjar Pranowo - Moh Mahfud MD (Gama).
Dari segi jumlah ada kemajuan kandidat, setelah pemilu pilpres 2014 dan 2019 hanya menghadirkan dua pasang kandidat (head to head) kini menjadi tiga pasang.
Baca Juga: Terlibat Kasus Dugaan Pemerasan, Rumah Ketua KPK Firli Bahuri Dikabarkan Digeledah Polda Metro Jaya!
Pilpres 2024 adalah ujian. Dibutuhkan kecerdasan (knowledge) dalam memilih. Orang cerdas bukan hanya kategori mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan juga mampu memilih yang terbaik (is the bels) di antara yang baik.
Prinsipnya, mampu menunjukkan dan meninggalkan yang terburuk sehingga ada perbaikan atau menunjukkan peningkatan kualitas demokrasi.
Dan, tentu saja merupakan ujian berat bagi masyarakat yang heterogen dalam segala hal. Terutama karena belenggu keterbelakangan dan kondisi kehidupan yang masih mayoritas berada di garis kemiskinan.
Justifikasi realitas itu, bisa dilihat pada pesta demokrasi pemilu sebelumnya. Di mana yang nampak bukan hanya sebatas pelemahan "civil Society" tetapi juga secara gamblang dapat disaksikan adanya paradoks politik sebagai hasil dari buah pendidikan politik masyarakat yang masih memprihatinkan.
Penjelasan itu dapat dilihat dari deteksi Mietzner yang mengungkap: korban terbesar pemilu 2019 adalah Civil Society. Kerusakan dan tekanan terhadapnya terjadi pertama-tama sebagai akibat dari rusaknya percakapan publik yang didominasi politik partisan, dan kuatnya hoaks berseliweran sebagai instrumen propaganda politik.
Akibatnya, rasionalitas publik tenggelam dari berbagai gelagat dasar demokrasi serta hak asasi juga luput dari percakapan untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik, melalui ide - gagasan pencerdasan (positif) yang harus disodorkan ke publik sebagai basic value yang harus "dipertaruhkan" oleh kandidat calon presiden RI ke 8.
Jadi, satu hal yang tak terbantahkan, di mana setiap kali musim pilpres datang acapkali harapan tak terbendung datang yaitu merebaknya ilusi bahwa kesejahteraan rakyat, keadilan sosial hanya bisa diraih/diselamatkan melalui pemilihan presiden dan wakil presiden.
Padahal, kenyataannya hanyalah ironi realita kehidupan bernegara. Paradoks perlindungan kehidupan rakyat yang lebih baik menjadi hal yang tak kunjung datang.
Baca Juga: Korban Terdampak Pohon Tumbang di DKI Jakarta Bisa Dapat Santunan
Kegagalan demi kegagalan "janji kampanye" yang tak pernah membayangkan kecerdasan rakyat tumbuh tanpa pendidikan yang memadai. Bahkan, kecenderungan adanya pelemahan keberadaan civil society.
Hal ini, menunjukkan adanya kontra produktif dengan spirit reformasi. Reformasi datang diharapkan menghancurkan semua "demarkasi" lama, serta membentuk semacam ruang baru dengan format kekuasaan baru.
Dari sini, tampak adanya arogansi etis seakan politik yang "baik dan benar" hanya yang berada di seputar kekuasaan negara.
Padahal, jika merujuk fakta yang ada sebagai warisan pemilihan presiden yang justru tak memberikan "pemihakan" yang jelas kepada rakyat untuk keluar dan bangkit dari "kubangan kemiskinan".
Baca Juga: LRT Jabodetabek Sering Terlambat dan Lamban, Inilah Penyebabnya
Kemerosotan demokrasi yang kian carut marut serta kekecewaan besar terhadap pemerintahan yang ada, harus diakui bahwa telah mendorong suatu pandangan dan sikap baru dari kalangan civil society yang ada.
Apalagi kondisi diperburuk, pemberlakuan rekrutmen dalam segala aspek aktivitas kehidupan yang terjadi hanya "like and dislike".
Serta tumbuh suburnya praktek monopoli dalam bidang usaha, dan munculnya persaingan usaha tidak sehat juga makin menjadi - jadi. Bahkan, sampai merebaknya mafia tanah yang dilakukan oleh para oligarki juga semakin nyata dan tak terkendali di era sekarang.
Oleh sebab itu, prinsip kesetaraan yaitu adanya equality before the law, kepastian hukum, keadilan, dan adanyanya meritokrasi yang konsisten haruslah di hadirkan dalam wujud nyata kepemimpinan nasional yang akan datang.
Baca Juga: Persik Kediri vs Persebaya Surabaya: Prediksi Skor, Susunan Pemain, Head to Head di BRI Liga 1
Ide besar untuk "membersihkan" Indonesia tak boleh hanya sebatas pesona visi - misi capres/cawapres setiap kali pemilu datang.
Dan, jika hal ini tidak di tunaikan oleh Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang maka jangan salahkan jika rakyat mengambil sikap tidak etis yaitu mengambil jarak dengan negara, sehingga melakukan pembangkangan terhadap pemilu dengan cara tidak menggunakan hak dasar sebagai hak politik yang melekat pada setiap warga negara alias golput. Meski civil society Indonesia kenyataannya jatuh bangun dalam berdemokrasi.
Demi mengatasi paradoks Indonesia dan mencegah tragedi demokrasi Indonesia, pemilu 2024 di harapkan kualitas demokrasi kita "naik kelas" setiap WNI dapat turut berperan menjawab tantangan sejarah, menjadikan Indonesia bangsa yang kuat, mandiri, terhormat, adil dan makmur.
Bangsa dalam percaturan global disegani, bukan bangsa kelas bawah yang seringkali dianggap remeh.
Jakarta, 26 Oktober 2023. ***