Syaefudin Simon: Denny JA di Usia 60
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 27 Januari 2023 10:06 WIB
Itulah sebabnya, kata Anick HT, Denny seperti nabi. Ia kaya, punya pengaruh, dan mampu menggilas para hater-nya. Tapi semua itu tak dilakukan Denny.
Ia diam dan senyum melihat tingkah laku para pembencinya itu (yang, misalnya, membakar boneka mirip Denny dan menginjak-injak buku karya Denny di TIM, Jakarta).
Anehnya, kata Fatin Hamama, bila sang hater yang keterlaluan itu rumahnya roboh atau tak mampu membayar biaya rumah sakit, Denny langsung merogoh koceknya.
Baca Juga: 5 Kota di Indonesia yang Menyimpan Peradaban Adiluhung Berusia Ribuan Tahun
Takut si hater tak mau kalau diberi uang oleh Denny, ia pun menitipkannya untuk si "musuh" kepada teman dekat pembencinya. Dengan pesan, jangan beritahu kalau bantuan ini dari Denny.
Aku kenal Denny sejak tahun 1985, usai lulus UGM, dan kerja di Jakarta. Saat itu, aku
diundang Mas Djohan Effendi (Mensesneg era Gus Dur) penulis buku Pergolakan Pemikiran Islam (Catatan Ahmad Wahib) ke rumahnya di bilangan Jalan Proklamasi Jakpus untuk mengikuti diskusi sekelompok anak muda dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta.
Di situ ada Denny, Jonminofri, Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, Jojo Raharjo, Rina Inez, Halimah Munawir, Agus Santoso, dan lain-lain.
Upps! Meski Denny dekat dengan Mas Djohan Effendi, intelektual muslim yang hidup sederhana dan aktif dalam diskusi keislaman, pria kelahiran Palembang 4 Januari 60 tahun lalu itu, berseberangan dalam pilihan hidupnya.
Baca Juga: TERBARU, 20 Link Twibbon Tema Harlah 1 Abad NU, Desain Keren dan Pilihan
Mas Djohan memilih hidup asketis. Denny memilih hidup tajiris. Alasannya, jika tajir, Denny bisa berbuat banyak untuk kemanusiaan dan pengembangan literasi serta intelektual di Indonesia. Kini Denny membuktikan keberhasilan dari pilihannya itu.