25 Drama Kisah Konflik Primordial di 5 Wilayah Setelah Reformasi dalam 25 Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 28 Desember 2022 07:30 WIB
Wajah dan warna kulitnya berbeda-beda. Tapi saat saya kecil saya tak merasa ada yang aneh dan beda. Masa kecil saya color blind.
Saat tumbuh dewasa, mulailah pendidikan dan budaya kita memberi kita kacamata dalam memandang realita. Untung jika kacamatanya jernih.
Tak jarang kita diberi kacamata yang penuh warna bahkan noda. Sehingga kita melihat realita dengan cara yang berbeda. Guru agama saya di SD, tak jarang mendiskreditkan agama selain Islam, padahal di kelas saya ada seorang teman beragama Kristen. Saya sering melihat teman saya itu tertekan dan tak nyaman.
Saya tumbuh menjadi remaja yang penuh ingin tahu. Rasa ingin tahu itu membawa saya bertemu buku-buku tentang kebencian pada agama lain. Gagasan-gagasan ini memberi kacamata yang membuat saya melihat realita dengan penuh prasangka.
Saat saya mahasiswa, peristiwa kerusuhan 98 meletus. Media dan berita mengabarkan beragam kengerian. Imajinasi saya terbang kembali ke masa kecil. Saya ingat Pushen, Kunce, Chun chun. Apa kabar mereka?
Momentum itu jadi titik berangkat saya mulai concern dengan topik perdamaian. Saya bergabung dengan beberapa gerakan tanpa kekerasan, mengikuti workshop dan pertemuan kemah perdamaian. Semakin dalam menyelam, semakin sadar bahwa ada api dalam sekam.
Saat masa Orde Baru, jurnalisme dibungkam. Banyak fakta dan data dikubur dalam-dalam. Sehingga keadaan seolah-olah damai dan tentram. Saat itu sastra menjadi pilihan. Beragam keresahan dituangkan dalam baris-baris puisi dan prosa agar pesannya bisa terkaburkan.
Reformasi membuka keran demokrasi. Jurnalisme yang dibungkam tiba-tiba bisa berteriak keras. Seperti orang kehausan di padang pasir yang menemukan oase, saya membeli beragam majalah dan tabloid untuk mendulang fakta yang sebelumnya tak pernah disajikan seberani itu.
Saat saya membaca buku “Jeritan Setelah Kebebasan” karya Denny JA ini, seolah melihat film yang diputar ulang di benak saya.
Dari judulnya saja saya langsung terbayang bagaimana jeritan yang selama ini dibungkam, menemukan momentum kemerdekaannya. Namun jeritan itu menyadarkan kita tentang kepiluan yang mengerikan namun terlupakan.