Amir Uskara: Dilema Ekonomi Dunia di Tengah Populasi 8 Miliar
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 12 Desember 2022 02:50 WIB
Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Anggota DPR RI/Ketua Fraksi PPP
ORBITINDONESIA - Kiamatkah bumi dengan populasi 8 Milyar? No! Bumi tetap akan baik-baik saja. Tapi dengan syarat.
Pinjam Mahatma Gandhi: Planet bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan manusia. Tapi tidak untuk keserakahannya. Itulah saratnya. Manusia tidak serakah.
Ketika PBB mengumumkan, penduduk bumi – global population – mencapai 8 miliar sejak 15 November 2022, dunia internasional heboh.
Banyak orang yang cemas – mampukan bumi memproduksi makanan untuk manusia? Mampukah atmosfir mengakomodasi polusi gas rumah kaca? Mampukah manusia mengantisipasi iklim bumi yang memanas?
Jawabnya: tergantung manusia di bumi. Sebab, populasi 8 M itu, tidak menyebar rata di muka planet biru ini. Tapi mengeblok di beberapa negara. Itu pun, kondisinya berbeda-beda.
Ada negara yang jusru populasinya makin turun. Sebaliknya, ada negara yang populasinya makin naik. Jepang, misalnya, diperkirakan tahun 2060, penduduknya nyaris tinggal separuh dari sekarang.
Di Negeri Sakura ini, populasinya terus menyusut. Begitu pula di Spanyol, Portugal, Yunani, Bulgaria, Hongaria, Serbia, Kroasia, Ukraina, dan lain-lain.
Baca Juga: Akhirnya Sekuel Joker Folie a Deux Tengah Jalani Produksi, Todd Philips Pamer Ini Di Instagramnya
Ya. Di beberapa negara Eropa, jumlah penduduk justru makin berkurang. Sayangnya, berkurangnya penduduk di sebagian negara-negara tersebut, masih kalah jauh dibanding penambahan penduduk di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. Walhasil, penduduk dunia pun makin bertambah.
Di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika, Jerman, dan Prancis jumlah penduduk relatif stagnan. Bahkan mengalami pertumbuhan negatif yang serius seperti Jepang dan Spanyol.
Kondisi ini, menimbulkan anomali. Negera maju dengan prosentase penduduk global kecil, tapi menguras sumber daya alam (SDA) yang amat besar.
Gaya hidup penduduk negera maju dengan konsumsi berlebihan akan menjadi masalah besar bagi iklim dan lingkungan hidup manusia.
Baca Juga: Inilah Partai Final Piala Dunia 2022 Qatar Paling Ideal yang Bisa Kamu Pilih
Kita tahu, pengaruh global warming dan kerusakan lingkungan hidup sifatnya menyeluruh; saling terkait karena samudera dan udara tak bisa dikerangkeng.
Dampaknya planet bumi – pinjam David Suzuki -- “meregang nyawa”. Dari situlah kita memahami ucapan Mahatma Gandhi di atas, bumi tidak mampu untuk memenuhi keserakahan manusia.
Berdasarkan laporan Worldometers, ada 10 negara penyumbang populasi terbanyak di dunia. Yaitu Tiongkok: (1,45 Miliar penduduk), India (1,41 M), Amerika Serikat (335,67 Jt) Indonesia (280,56 Jt), Pakistan (231,56 Jt), Nigeria (219,02 Jt), Brasil (216,2 juta orang), Bangladesh (168,67), Rusia (146,08 juta), dan Meksiko (132,22 Juta).
Celakanya, sebagian besar populasi negara-negara tersebut masih berkubang dalam lumpur kemiskinan. Termasuk penduduk Tiongkok, India, dan Amerika.
Baca Juga: Bikin Eliezer Geleng Kepala, Sambo Ngaku Cuma Suruh Hajar Brigadir Joshua
Di negeri terakhir yang konon adidaya tersebut, jumlah orang miskin tiap tahun makin bertambah. Tapi ironisnya di negeri ini pula, orang-orang kayanya sangat serakah.
Mereka mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya dengan mengeksploitasi SDA di seluruh dunia.
Yang jadi persoalan, bumi adalah sebuah planet yang utuh. Saling terhubung baik melalui samudera maupun udara. Beda dengan negara-negara yang berada di atas bumi. Mereka tersekat dan kadang saling menyikat.
Maka, dilema yang muncul ketika populasi bumi 10 M, pertama-tama adalah polusi udara dan laut. Atau polusi atmosfir dan samudera.
Baca Juga: Kaesang Pangarep dan Erina Gudono Unduh Mantu, Ternyata Raffi Ahmad Nagita Salvina juga Diundang
Tak ada manusia maupun negara yang mampu membendung pergerakan udara di atmosfir dan ombak di samudera.
Dengan demikian, pemanasan global dan kerusakan lingkungan, terus memburuk di muka bumi. Dilemanya adalah negara-negara yang memiliki tingkat konsumsi dan emisi gas rumah kaca tertinggi adalah negara-negara di mana tingkat populasinya rendah dan terus menurun.
Dengan demikian negara-negara miskin akan mengalami penderitaan yang kronis. Ibaratnya, mereka sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Mereka miskin dan terdampak pemanasan global. Padahal, penyebab semua itu adalah eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan oleh negara-negara maju. Istilah Gandhi, mereka serakah.
Baca Juga: BRI Liga 1 : Barito Putera Melawan Dewa United Berakhir Tanpa Pemenang
Bagaimana solusinya? PBB menyatakan, negara-negara kaya dan masyarakat internasional harus membantu negara miskin dan berkembang untuk memperbaiki perekonomiannya.
Bila ekonominya maju, negara-negara miskin pun mampu mengantisipasi kerusakan lingkungannya.
Karena itu, kata Maria-Francesca Spatolisano dari Departemen Ekonomi dan Masalah Sosial PBB, semua negara khususnya negara-negara maju, harus melipatgandakan usahanya agar target pembangunan berkelanjutan (SDG) bisa tercapai pada tahun 2030.
Di antara target SDG tersebut adalah memberantas kemiskinan, kelaparan, dan ketimpangan, kemudian menciptakan perdamaian dan keadilan.
Celakanya, kondisi dunia setelah diterjang pandemi Covid-19 mengalami keterpurukan ekonomi. Termasuk negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jepang. Dalam kondisi tersebut, meletus pula perang Rusia-Ukraia yang memperparah keterpurukan dunia tadi.
"Dalam situasi dunia yang kini mengalami krisis multidimensi, aspirasi yang dicanangkan dalam Agenda SDG 2030 sedang terancam," kata Sekjen PBB Antonio Guterres dalam laporan tahun 2022.
Guterres menyebutkan, pandemi Covid-19 yang memasuki tahun ketiga; perang di Ukraina yang menyebabkan krisis makanan, energi, kemanusiaan, dan pengungsi; lalu kekacauan iklim akibat global warming – menjadikan dunia nyaris terkapar.
Hanya sedikit negara yang mampu survive dari keterpurukan itu. Seperti India, Indonesia, dan China.
Baca Juga: Pernikahan Kesang Pangarep dan Erina Gudono, Deretan Tokoh Nasional Hadiri Undangan Jokowi
Kondisi di atas, diperparah oleh populasi yang terus bertambah di bumi. Bila tahun 2022 populasi bumi mencapai 8 Milyar, PBB memproyeksikan tahun 2030 menjadi 8,5 Milyar, tahun 2050 (9,7 Milyar), tahun 2080 (10,4 Milyar), dan tahun 2100 (11 Milyar).
Banyak konsekwensi yang timbul karena pertambahan populasi tersebut. Di antaranya, kerusakan lingkungan yang multidimensi. Seperti perubahan iklim, deforestasi, defisit sumber air, dan berkurangnya biodiversitas.
"Hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, polusi, deforestasi, dan kekurangan air serta makanan – akan muncul di masa depan akibat populasi yang terus bertambah di bumi,” tulis lembaga kajian Population Matters yang berbasis di Inggris.
Merasakan kecemasan di atas -- Sylvia Lorek, profesor ekonomi konsumen di Universitas Helsinki dan ketua Sustainable Europe Research Institute di Jerman – menanggapi:
Baca Juga: LUCU, Saat Bestie Bu Iriana Berebut Foto di Nikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono
“kondisi tersebut bergantung pada cara kita berbagi sumber daya alam. "Manusia telah lama hidup di luar kemampuan bumi untuk memenuhi keserakahannya," kata Lorek.
Di sini, kita mengingat kembali pesan Gandhi. Bumi akan mencukupi kebutuhan manusia.Tapi tidak, untuk keserakahannya.
Dan kunci untuk menyelamatkan bumi telah dicontohkan para Nabi seperti Muhammad, Isa, dan Sulaiman (Solomon). Mereka hidup sederhana. Bahkan Nabi Sulaiman yang kaya raya pun tetap hidup sederhana. ***