Terusirnya Warga Ahmadiyah dari Tanahnya Sendiri di NTB dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 06 Desember 2022 06:59 WIB
Baca Juga: Kisah Korban Perkosaan Tragedi Mei di Jakarta 1998 dalam Puisi Esai Denny JA, LUKA YANG TERUS MENGANGA
Saya mendampingi Ahmadiyah sejak tahun 2006 hingga sekarang ini. Selama kurang lebih 16 tahun bersama dengan Ahmadiyah, saya menjadi saksi mata perihal diskriminasi dan persekusi yang menimpa mereka.
Tidak hanya itu, saya juga mendampingi Ahmadiyah untuk membangun kesadaran konstitusional, bahwa Bhinneka Tunggal Ika dan hak asasi manusia harus diperjuangkan agar ditegakkan oleh para pemangku jabatan dan kepentingan di negeri itu.
Selain itu, kita perlu membangun aliansi bersama dengan berbagai elemen bangsa untuk memperjuangkan, menegakkan, dan membumikan konstitusi. Intinya, diskriminasi dan persekusi terhadap Ahmadiyah merupakan pelanggaran hukum, kejahatan, dan haram terjadi di negeri yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika dan hak asasi manusia.
Denny JA dalam puisi-puisi esainya yang sangat apik dan menyentuh ini, mampu menggambarkan dan mengisahkan secara gamblang perihal nestapa dan derita Ahmadiyah sejak tahun 2006-2022.
Baca Juga: Konflik Primordial Berdarah di Maluku 1999 Sampai 2002 dalam Puisi Esai Denny JA
Semua puisi yang esai yang ditulisnya, Rama Menjemput Kematian, Mahama Tak Minta Suaka ke Australia, Kami Ikhlas Dikubur Hidup-Hidup, Sambut Derita Bagai Tamu Agung, Sihir di Tatapan Mata Ibu Tua Itu, dapat menggambarkan kondisi objektif Ahmadiyah dalam 16 tahun terakhir.
Tidak menutup kemungkinan, derita tersebut masih akan terus membayang-bayangi mereka hingga tahun-tahun yang akan datang.
Denny JA memilih Transito, tempat penampungan warga Ahmadiyah korban kekerasan, dikriminasi, dan persekusi di kota Mataram, sebagai saksi bisu penderitaan mereka dalam 16 tahun terakhir itu.
Menurut saya, pilihan pada Transito sangat tepat, karena tempat ini menjadi dalil sahih dari semua jeritan yang dirasakan warga Ahmadiyah.