Konflik Suku Dayak dan Madura di Sampit 2001 dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 05 Desember 2022 08:00 WIB
Jika Anda membaca kelima bab tersebut, konflik Dayak-Madura di Sampit yang terjadi 21 tahun yang lalu seakan terjadi baru kemarin; bau anyir darah manusia masih tercium jelas, ratusan kepala suku Madura yang ditebas suku Dayak masih tampak berserakan di jalan-jalan, isak tangis anak yang kehilangan orang tua dan orang tua kehilangan anak masih terdengar.
Baca Juga: Denny JA: Budaya Betawi Perlu Diterjemahkan ke Pola Pikir Zaman Kini Jika Mau Bertahan
Melalui puisi esai ini, Denny JA berhasil merecall memori 21 tahun ini dengan sangat detail. Luka batin kembali menganga. Perpisahan dua kekasih yang diberi nama Jazil (Madura) dan Sanja (Dayak), bukan fiktif belaka. Peristiwa itu benar terjadi, dan tidak hanya menimpa satu-dua orang.
Saat Denny menyebut Panglima Burung, pemimpin spiritual Dayak, saya kembali teringat cerita teman-teman saya: suku Madura yang tinggal di Pulau Kalimantan, khususnya Sampit.
Digambarkan Panglima Burung adalah sosok yang demikian sakti, tak terlihat mata, namun mampu melepaskan kepala dari tubuh dalam sekejap.
Denny benar-benar cukup cerdik. Agar puisi esainya tak diyakini sebagai karya ilmiah, ia mengawali dengan kalimat “Teks di WA japri itu singkat saja” pada bab “Kakakku Berburu Kepala”. Padahal Denny tahu bahwa WA (atau Whatsapp) itu baru ada tahun 2009, delapan tahun setelah peristiwa Sampit itu.
Baca Juga: 25 Kisah Konflik Primordial di Lima Wilayah dalam Buku Puisi Esai Denny JA
Dengan cara sederhana tapi cerdik ini, pembaca kembali tersadar bahwa yang dibacanya adalah puisi esai, bukan laporan investigasi.
Utang kepada sejarah
Mendekati akhir bab kelima dari drama kisah Dayak-Madura yang dikisahkan Denny ini, saya tetiba teringat satu ayat penting dalam al-Qur’an, tepatnya surat al-A’raf ayat 176. Bunyinya demikian: “Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir”.